Wednesday, August 15, 2007

Sore apa malam?


Ini sebenernya malam jam 8 malam waktu setempat...
Posted by Picasa

Thursday, August 2, 2007

Si Anggie

Anggie Setia Ariningsih: Menyogok Preman Demi Mengajar Anak Jalanan
Oleh: A. Bimo Wijoseno


Penulis: A. Bimo Wijoseno

Gadis itu masih remaja. Namun, pemikirannya terhadap pendidikan anak-anak berkekurangan sudah begitu matang. Ia menyadari, pendidikan salah satu modal utama bagi seseorang demi menggapai masa depan yang berhasil. Karenanya, ia rela menyogok preman dengan uang agar diberi kesempatan mengajar anak-anak jalanan. Anggie Setia Ariningsih, nama gadis itu.
=====
Dari ruang serbaguna Kelurahan Menteng Atas, Jakarta Selatan, terdengar suara riuh rendah. Pagi itu puluhan bocah berumur 3 - 5 tahun berkumpul di tempat itu.
"Mbak Anggi, mbak Anggi," seru seorang dari mereka sembari mengacungkan tangan. Yang dipanggil menoleh, lalu melempar senyum. Anggi, begitu ia biasa dipanggil, pagi itu memang menjadi "bintang".
Melihat dandanannya, Anggi tak beda dengan kebanyakan anak muda kota besar lainnya. Usianya pun baru 20 tahun. Namun, di usia semuda itu, ia sudah melakukan banyak hal berbeda dibandingkan dengan rekan-rekan sebayanya. Saat kawula muda lain lebih suka jalan-jalan ke mal, ia malah memilih mengajar anak-anak berkekurangan.
"Tidak mudah mengumpulkan anak-anak itu untuk diajak belajar bersama. Padahal tidak dipungut biaya," katanya. Maklum, orangtua mereka kebanyakan tinggal di daerah kumuh. Kebanyakan bekerja sebagai pemulung dan pemungut sampah.

Bayar preman
Saat pertama Anggi mengunjungi anak-anak asuhnya awal Januari lalu, mereka tampak tak bersahabat. Salah satu warga bahkan bertanya, "Mau apa ya? Dari partai apa ya?"
Anggi harus bersusah payah menjelaskan keinginannya berbagi. Belakangan, setelah sikap mereka lebih bersahabat, Anggi jadi tahu penyebab ketakutan mereka. "Maaf, kita mesti waspada sama orang luar. Kami takut, anak-anak kami diculik dan dijual," imbuh salah satu dari mereka.
Suatu malam, dibantu Atun, salah seorang remaja putri di kampung itu, Anggi mendatangi tiga rumah penduduk. Sebelumnya, Anggi sudah meminta izin kepada lurah setempat, Samsul Bahri. Bukan hanya mengizinkan, Samsul bahkan menyediakan tempat untuk belajar. "Padahal tadinya saya cuma mau meminjam lapangan parkir kelurahan," kisah Anggi. Akhirnya, terkumpullah 45 anak yang mau belajar bersama Anggi.
Kegiatan di Menteng Atas bukan yang pertama dan satu-satunya buat Anggi. Sebelumnya, ia pernah membuat kelompok belajar anak jalanan di kolong jembatan Grogol, yang kini terhenti karena Anggi kesulitan mengatur waktu mengajarnya. Ada pengalaman menarik sebelum ia memulai aktivitas di kolong jembatan. Waktu itu (tahun 2000), bus kota yang ditumpangi Anggi melewati kolong jembatan Grogol.
"Aku dalam perjalanan menuju lokasi lomba debat, mewakili sekolahku, SMK Negeri 8, Pejaten Pasar Minggu," tuturnya. Tiba-tiba, dari jendela bus, ia melihat beberapa anak jalanan seusia anak SD berkeliaran di sana. "Kapan ya mereka sekolah, atau malah tak sempat sekolah?" cetusnya dalam hati. Anggi lalu turun dari bus dan menghampiri mereka.
"Kalian mau sekolah enggak?" tanyanya.
"Ah, bohong!" jawab mereka ketus.
Meski tak disambut ramah, Anggi tak putus asa. "Kita ketemu di sini lagi besok pagi ya?" ajaknya.
Anak-anak itu diam sebentar. "Enggak, ah. Takut ketahuan sama Abang (preman - Red.)."
"Bikin aja enggak ketahuan," timpal Anggi.
Esok harinya, Anggi membawa sekantong permen dan sebotol sampo. Ia tidak langsung mengajak mereka belajar. Namun, anak-anak jalanan itu dimintanya keramas.
"Minggu depan kita ketemu lagi ya?" pinta Anggi.
Tak ada jawaban pasti dari mulut mereka. Namun, minggu berikutnya, Anggi menepati janji. Ketika mengetahui Anggi datang, barulah mereka tersenyum. "Kok senyum?" tanya Anggi keheranan. "Lu ternyata enggak bohong," jawab mereka polos.
Menjadi anak muda berbakti seperti Anggi memang banyak menhadapi cobaan. Ketika mengajar para anak jalanan itu, misalnya, ia pernah dihampiri preman. "Buat apa lu di sini?" tanya mereka. Dengan berani Anggi menjawab, cuma ingin mengajar anak-anak jalanan itu membaca. "Sejujurnya, aku takut juga menghadapi preman-preman itu," ujarnya buka rahasia.
Untungnya, penjelasan Anggi bisa mereka terima. Namun, salah seorang preman bilang, anak-anak jalanan itu harus menghasilkan duit. "Dalam satu-dua jam mereka bisa menghasilkan duit seribu sampai dua ribu. Jadi, buat apa belajar membaca," kata si preman. "Oke, kalau begitu aku bayar. Ini uang untuk beli rokok, dan yang ini buat mabuk," tegas Anggi. Sim salabim, urusan beres. Anggi pun dapat mengajar kembali.
Sejak itu, ia jarang diganggu preman lagi.

Modal cas-cis-cus
Imbalan materi jelas bukan tujuan Anggi memenuhi panggilan hatinya untuk berbagi ilmu. Siapa yang mau menggaji guru anak-anak pemulung atau anak-anak jalanan? Anak pertama dari dua bersaudara, buah pasangan Aris Sukoso (42) dan Eni Purwati (43) ini justru harus merelakan sebagian gajinya sebagai office manager di sebuah perusahaan minyak asing untuk membiayai semua aktivitasnya. Setidaknya, ia merogoh Rp 100.000,- per sekali pertemuan untuk membeli alat tulis, permen, dan hadiah-hadiah lain.
"Karier" mengajar Anggi mulai menanjak sejak menang lomba debat bahasa Inggris tingkat nasional tahun 2000. Saat itu ia ditawari Depdiknas untuk menularkan kemampuannya berbahasa Inggris kepada siswa-siswa lain. "Pak Dirjen (Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah - Red.) bertanya pada saya bagaimana caranya fasih berbahasa Inggris, karena kalau mengandalkan pelajaran di sekolah, jelas tidak mungkin," terawang Anggi. "Saya jawab, ya belajar sendiri."
Menurut Anggi, pengajaran Bahasa Inggris di Indonesia kurang lengkap. Siswa lebih banyak diajari menulis ketimbang berbicara. Padahal, bahasa Inggris digunakan tidak hanya untuk menulis, tapi juga berbicara. Itu sebabnya, sejak SMP Anggi gemar mengumpulkan bahan-bahan yang berkenaan dengan bahasa Inggris. Bahan itu ia kumpulkan dari majalah, buku, koran, TV kemudian dikumpulkan jadi satu modul.
Anggi juga terbiasa bergaul dengan orang asing, karena ibunya sekretaris di sebuah perusahaan asing. "Modul pengajaran" bahasa Inggris ala Anggi akhirnya sampai ke tangan Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah, Depdiknas. Gayung bersambut. "Beliau menawari saya untuk berbagi ilmu dengan siswa-siswa lain," jelasnya. Awalnya, Anggi ditugasi mengajar bahasa Inggris di 30 Sekolah Menengah Kejuruan di Jakarta. Senin sampai Jumat, ia berkeliling ke sekolah-sekolah itu. Ia hanya sempat masuk sekolah di SMKN 8, Jakarta pada Sabtu saja.
Profesi mulia itu dia jalani selama dua tahun. Ia makin sibuk, setelah program tidak hanya dijadwalkan di Jakarta, tapi juga ke seluruh pelosok Jawa. "Saya menjadi semacam motivator untuk teman-teman yang lain," sambungnya. Untuk kerja kerasnya itu, Anggi yang masih tercatat sebagai murid sekolah menengah mendapat insentif Rp 100.000,- per bulan. Hebatnya, setamat SMK, gadis ramah yang sejak kecil sudah bercita-cita menjadi office manager perusahaan minyak itu langsung ditawari Depdiknas menjadi pegawai negeri.
Namun, Anggi punya pertimbangan lain, saat menolak tawaran Depdiknas. "Lebih baik aku mengajar orang yang tidak beruntung, karena tidak ada dana buat bersekolah, tapi ada kemauan untuk belajar," terangnya. Anggi melihat banyak sekali siswa-siswi di sekolah mempunyai orangtua yang mampu membiayai sekolah mereka sampai jenjang tertinggi, tapi si anak sendiri kemauan belajarnya sepertinya kalah dengan anak-anak jalanan.
Pada saat bersamaan, ibunya menawarkan pekerjaan sebagai sekretaris di perusahaan asing yang bergerak di bidang perminyakan. Meskipun belum mengantungi ijazah, Anggi langsung mengiyakan. "Modal saya sertifikat penghargaan, list of achievement dan lancar berbahasa Inggris," tuturnya sembari mesem. Hebatnya, Anggi langsung diterima.

Ditentang orangtua
Sejak bekerja, Anggi hanya mengajar pada Sabtu dan Minggu. Jadwalnya memang sangat padat. Tak heran kalau ia pernah terserang penyakit parah. Ia mengalami penyumbatan pembuluh darah di otak, yang membuat Bu Guru muda ini lumpuh. "Kalau kumat, aku jedotin aja kepala ke tembok. Serangannya bisa sampai 30 menit. Terutama ketika marahku memuncak, tapi tidak tersalurkan," ungkapnya terbata-bata.
Anggi sempat lumpuh selama tiga bulan. Dua minggu sekali ia harus disuntik oksigen di RSUPN Cipto Mangunkusumo. Ia juga menjalani puasa mutih. Setelah setahun, kesehatan Anggi akhirnya berangsur pulih. Anggi mengakui, sebenarnya kadar leukosit dalam darahnya juga tidak seimbang. Ia terserang leukimia. "Namun, aku tidak mau mengganggap penyakitku leukimia," ujarnya mantap. Sebab Anggi yakin, ia tidak seperti itu dan bisa sehat seperti manusia normal.
Selain mengajar, semangat belajar Anggi pun tak pernah surut. "Saya kerja buat biaya kuliah," jelasnya. Sebenarnya, tahun 2003 ia sudah kuliah di Universitas Nasional. Namun, jadwalnya sering tidak klop dengan ritme kerja di kantor. "Aku terlambat terus, sampai akhirnya memutuskan keluar saja," ungkap Anggi. Jurusan Sastra Inggris ia ambil dengan pertimbangan agar mudah dicerna. Ia takut otaknya tidak mampu.
Kekhawatiran juga datang jika kelak ia tak dapat lagi berdiri di depan "kelas". Itu sebabnya, Anggi mulai menularkan semangatnya kepada sejumlah teman. "Saya mengajak mereka menemani mengajar atau menjadi donatur," bilangnya lirih. Ia berharap, kelak akan muncul anggi-anggi baru yang lebih hebat. Ia juga ingin ada sekolah gratis dan berkualitas bagi semua orang di Indonesia.
Di usia yang relatif sangat muda itu, Anggi sudah tampak luar biasa bijaksana. Bersusah payah mengajar anak jalanan dan orang miskin, tanpa digaji, bahkan merogoh kocek sendiri, tak banyak orang mau melakoni. "Jika kita mengerjakan sesuatu hanya karena imbalan uang, tidak akan pernah sempat menabung. Menabung di sini, tidak ada urusannya dengan uang, tapi rasa. Tepatnya, kepuasan batin. Itu juga sekaligus menjadi obat buat penyakitku," imbuhnya.
Sayangnya, kegiatan sukarela ini masih ditentang oleh orangtuanya. Alasannya sangat masuk akal, berkaitan dengan kesehatan Anggi. "Kedua orangtuaku begitu protektif, terutama ibu. Makanya, aku sering berbohong. Aku bilang pergi ke kantor, padahal mengajar. Soalnya, apa yang aku kerjakan ini tidak memberi nilai lebih buat keluarga dan diriku sendiri. Malah mengeluarkan dana," ucap Anggi serius.
Hal itu kadang terasa mengganjal di hati Anggi. "Namun, suatu saat nanti, aku akan bilang apa yang aku lakukan ini merupakan pilihan bebasku," janjinya kepada diri sendiri.

Powered by ScribeFire.

thermal scan

Thermal scan untuk tulang belakang
Oleh: A. Bimo Wijoseno


Dulu Nervoscoupe, Kini Thermal Scan

Oleh sebagian orang, chiropractic masih sering diidentikkan dengan penyembuhan "tangan kosong". Padahal, seiring perkembangan teknologi kedokteran, alat-alat untuk memaksimalkan kerja chiropractor - begitu ahli chriropractic biasa disebut - pun makin banyak diciptakan. Salah satunya, thermal scan. Jadi, jangan lagi menganggap chiropractic sekadar terapi yang mengandalkan "keahlian" tangan belaka.

Thermal scan - nama lengkapnya jauh lebih keren, Insight Millenium Subluxation Station - bisa disebut sebagai salah satu perangkat paling mutakhir yang dibikin untuk membantu proses terapi tulang belakang. Khususnya untuk memeriksa fungsi dari sendi dan saraf yang bermasalah. Pada thermal scan, para ahli chiropractic menemukan sistem yang dapat menganalisis lebih canggih dan akurat, dengan mendeteksi perbedaan suhu saraf tulang belakang.
Bukan berarti sebelumnya tak ada alat yang diciptakan untuk "memata-matai sendi" dan saraf tulang belakang itu. Sebelum munculnya thermal scan, chiropractor melakukan analisis letak subluksasi (kemungkinan adanya saraf yang terjepit) dengan menggunakan perangkat yang biasa disebut nervoscope. Nervoscope ini sudah ada sejak 55 tahun yang lalu. Fungsi perangkat ini setali tiga uang dengan thermal scan, yakni untuk mengukur suhu saraf tulang belakang.
Namun secara fisik, nervoscope lebih mirip speedometer sepeda motor, dengan jarum penunjuk dan angka-angka pengukur. Dia mempunyai dua buah batang yang berdampingan untuk mengukur suhu. Dua batang nervoscope ini fungsinya kayak termometer, satu bertugas mengukur suhu saraf kiri dan satunya lagi untuk bagian kanan. Jika terdeteksi adanya kelainan, suhu kiri dan kanan akan berbeda. Sebaliknya, kalau suhunya sama, berarti tidak ada masalah.
"Kulit merupakan organ tubuh terbesar dan dilengkapi dengan pembuluh darah, yang berfungsi sebagai termostat. Jika sistem saraf terganggu, otomatis juga akan menyebabkan termostatnya terganggu, sehingga terjadi penyampaian informasi suhu yang tidak sama antara kanan dan kiri tubuh," chiropractor dr. Tinah buka suara, menjelaskan mengapa perbedaan suhu itu bisa terjadi.

Lebih mudah dan cepat
Setiap pasien yang baru pertama kali berobat ke klinik chiropractic mestinya akan langsung "bertatap muka" dengan nervoscope atau thermal scan. Maklum, pemeriksaan subluksasi termasuk bagian dari pemeriksaan awal buat mereka yang dicurigai mempunyai tulang belakang bermasalah. Dengan nervoscope, chiropractor akan memeriksa perbedaan suhu antara kanan dan kiri saraf tulang belakang. "Saat pemeriksaan kulit, pasien harus kering, tidak basah, apalagi berkeringat. Agar nervoscope dapat bekerja secara akurat," jelas Dr. Tinah.
Belakangan, dengan munculnya thermal scan yang berteknologi lebih anyar, nervoscope sudah mulai ditinggalkan para terapis. Keunggulan thermal scan yang paling nyata, hasil pemeriksaannya dapat dilihat langsung di layar komputer. Sehingga terapis dan pasien bisa sama-sama tahu dan berdiskusi perihal masalah yang sedang dihadapi.
Berkat thermal scan pula, chiropractor dimudahkan dalam memastikan dan menganalisis masalah saraf pasien. Jika dengan nervoscope harus mengukur satu demi satu titik-titik saraf tulang belakang, dengan thermal scan cukup menggelindingkan alatnya di sepanjang tulang belakang. Di layar komputer, hasil scanning yang dilakukan akan tampak jelas dan detail, menunjukkan bagian-bagian mana saja dari tulang belakang pasien yang mengalami gangguan.
Selanjutnya, daerah yang mengalami gangguan ini diperbaiki dengan pijatan atau tekanan dengan jari. "Alat ini tidak hanya mendeteksi sakit di sekitar tubuh, namun juga bisa membantu mendeteksi asma, alergi, juga autisme," imbuh dr. Tinah. Hal itu bisa diketahui dari saraf mana yang langsung menuju organ dalam tubuh. Kalau asma misalnya, tentu titik saraf yang menuju organ pernapasan menunjukkan ada tanda-tanda tidak beres. Semuanya bisa dianalisis dari grafik yang muncul di layar monitor.
Apakah pemeriksaan thermal scan menimbulkan rasa sakit? Dari pengalaman pasien selama ini, tidak sama sekali. Karena alat ini tidak memakai jarum, panas ataupun radiasi, sehingga aman digunakan untuk siapa saja. Lagipula, fungsi thermal scan hanya untuk mendeteksi informasi suhu dari susunan saraf tulang belakang. Tidak lebih, tak kurang.
Keunggulan lain, alat ini mampu mendeteksi fungsi susunan saraf tulang belakang yang tidak dapat terlihat dengan x-ray atau rontgen sekalipun. Ia juga aman digunakan oleh seluruh usia, tak peduli anak-anak atau orang dewasa, bahkan oleh wanita hamil.
Pendek kata, alat buatan Amerika Serikat ini sangat memudahkan kerja chiropractor dalam mencari subluksasi. Terapis cukup menggelindingkan alat pemindai di tulang belakang pasien, dengan waktu pemeriksaan tergolong singkat, cuma butuh sekitar 5 sampai 10 menit. Meski begitu, hasilnya dijamin tetap akurat, dibandingkan alat lain yang sejenis. Thermal scan pun praktis, karena nyaris tak perlu pencatatan. Semua sudah ada di monitor, tinggal dipelototin.
Jika hasil "melotot" menunjukkan ada warna merah di titik tertentu, berarti ada yang tidak beres pada titik tersebut. Kalau warnanya hijau, ya aman-aman saja. Tingkat keparahan dari ketidakberesan tadi juga bisa dilihat detail, karena ada prosentasenya.

Bisa Juga Mengamati Otot
Beberapa tahun terakhir, perkembangan chiropractic dan alat diagnosisnya terbilang pesat. Pasti tak seorang pun menyangka, jika pada awalnya, para terapis lebih banyak menggunakan tangan kosong sebagai alat pendeteksi gangguan tulang belakang. Setidaknya itu yang terjadi di era B.J Palmer, bapak chiropractor, ketika ia mendeteksi gangguan dengan punggung tangan, untuk mengetahui peningkatan suhu di tulang belakang atau mencari di mana tulang belakang yang mengalami subluksasi.
Agar hasil analisis lebih obyektif, alat-alat diagnostik berteknologi tinggi pun kemudian dikembangkan. Meskipun secara basic, masih banyak chiropractor yang tetap memakai cara pemeriksaan panjang kaki dan palpasi tulang belakang untuk menentukan masalah di tulang belakang.
Metode dan hasil diagnosis yang lebih pasti menjadi sasaran para ahli chiropractic. Palmer sendiri - orang yang dianggap paling berperan mengembangkan chiropractic (sejak 1950-an) di antaranya dengan mendirikan The Palmer School of Chiropractic di Florida, Amerika Serikat - ikut mendorong terciptanya alat-alat pendeteksi itu. terciptalah kemudian cikal bakal nervoscope.
Sejak itu, perusahaan-perusahaan yang memproduksi dan memasarkan alat diagnosis chiropractic bermunculan. Mereka juga mengembangkan adjusting instrument dan yang terbaru ditemukan adalah suatu alat yang dapat menganalisa sebelum dan sesudah pengoreksian tulang belakang. Alat ini didasarkan pada adanya perbedaan suhu pada saraf tulang belakang, kemudian menandai level dari saraf-saraf yang mengalami malafungsi.
Kemajuan sektor teknologi informasi (termasuk komputer) dan kebutuhan akan alat diagnosis yang sahih, membuat makin lama alat yang diciptakan kian praktis dan akurat. Kebutuhan yang pada akhirnya bermuara pada munculnya thermal scan, yang kini sudah digunakan di seluruh dunia dan terus dikembangkan sesuai kebutuhan.
Dalam praktiknya, thermal scan tidak hanya digunakan oleh chiropractor, banyak praktisi medik lain yang menggunakannya sebagai alat untuk sebelum dan sesudah treatment. Apalagi penggunaan thermal scan dapat juga digabungkan dengan pengukuran surface EMG, inclinometer, sehingga selain mengetahui suhu saraf tulang belakang, juga dapat mendeteksi aktivitas otot-otot sekitar tulang belakang.
Kita tunggu saja, ke depan, apa lagi yang bisa dilakukan thermal scan di punggung (dan sekitarnya) kita.


Boks:
Antara Ukuran Kompak dan Komputerisasi

Nervoscope
- Mengukur perbedaan temperatur saraf tulang belakang secara analog
- Tidak dapat dihubungkan dengan komputer, sehingga hasil pegukuran tidak dapat dicetak di atas kertas
- Alatnya lebih kecil dan kompak.

Thermal Scan
- Mengukur perbedaan temperatur saraf tulang belakang dengan memanfaatkan sistem komputerisasi dan digital
- Hasil pengkuran dapat dicetak, sehingga bisa disimpan.
- Harus dihubungkan dengan komputer.



Powered by ScribeFire.