![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhTxC84i2WfU9p5aLHhK0PKTwEPOsJ7HeVJS_bZ0ekWb5SNrqaocEUsmWOYofiYwdHYmtWCALgCY_bGAO9XX-2raExxXNInO249o5kVqIw1K4g_WroLgCrgTH0iu-9tzXvc8Wh9BbUGWEiU/s400/mozart.jpg)
Salah Kaprah Efek Mozart
Oleh: A. Bimo Wijoseno
Musik tak hanya menenteramkan jiwa, tapi juga menyembuhkan. Inilah alasan mengapa Apollo, dalam mitos Yunani Kuno, merupakan dewa musik sekaligus pengobatan. Musik pun memberi energi bagi hidup kita.
=====
Tentu Anda pernah merasakan situasi seperti ini: hati sedih, entah karena kehilangan orang terkasih atau gagal dalam sebuah ujian. Lalu, sambil merebahkan tubuh di sofa ruang tamu, Anda pun menyetel musik lembut. Sayup suara alunan musik memenuhi ruangan. Beberapa menit kemudian, berangsur-angsur perasaan dan mood kita menjadi lebih baik. Hati pun menjadi tenang dan bisa ceria lagi.
Begitulah, tanpa Anda sadari musik memiliki efek positif dalam menata perasaan dan mood. Kajian tentang musik tak sekadar bunyi-bunyian tertata sudah dilakukan sejak lama. Salah satu kajian itu ialah musik sebagai penyembuh dan peningkat kecerdasan.
Masak iya musik bisa membuat kita sehat dan cerdas? Pertanyaan yang wajar, sebab benak kita sudah terprogram kalau sakit ya ditangkal dengan obat dan kalau mau cerdas ya belajar.
Sembuh karena rileks
Memang, "musik membuat kita sehat" bukan dalam arti jika kita sakit, lalu diperdengarkan musik, terus sembuh. Merujuk pada penelitian yang dilakukan Dr. Joanne Loewy di Beth Israel Medical Center, NY, AS, sejak 1997 hingga sekarang, musik ternyata mampu membantu pasien untuk mengelola rasa sakitnya. Maksudnya, rasa sakit yang diderita bisa direkayasa oleh si musik menjadi hilang. Kadar sakitnya diturunkan menggunakan alunan musik.
Menurut Loewy, saraf untuk mendengarkan musik dan saraf perasa sakit itu sama, karena sama-sama menghubungkan saraf di otak dan di sumsum tulang belakang. Jika pasien menjalani pembedahan dan saat itu juga pasien diajak untuk mendengarkan musik, saraf perasa sakit ini menjadi “sibuk” antara merasakan sakit dan mendengarkan lagu. Akibatnya, pasien tidak merasa sakit ketika pembedahan berlangsung.
Loewy memberi contoh pasien penderita sickle-cell anemia. Rasa sakitnya yang amat sangat dapat dikurangi setelah kepada pasien itu diperdengarkan bunyi genderang. Rasa sakit berangsur sirna secara singkat. Terapi seperti inilah yang sering disebut terapi musik.
Bagi pasien yang penyakitnya sudah parah atau bahkan sedang menunggu sakratul maut, terapi musik dan bimbingan khusus dapat membuat pasien mengerti, dan akhirnya mau menerima apa yang ia alami. Si pasien pun lalu merasa lebih siap untuk mati, lebih tenang, dan penyakitnya tidak terasakan. Ia pasrah, dan kondisi ini terkadang malah membuat pasien menjadi lebih lama bertahan hidup.
Musik sebagai penyembuh masih terus digali kesahihannya. “Terapi musik masih terus dikembangkan untuk pasien kanker, alzheimer, depresi, dan berbagai penyakit lainnya,” ujar Loewy. Musiknya sendiri memang tidak secara langsung menyembuhkan penyakit. Bahkan, sebenarnya hasil akhir yang dicapai bukan kesembuhan, tapi relaksasi, yang dicapai melewati entrainment dan music vibration table (MVT).
Entrainment itu sebuah teknik yang digunakan untuk mengubah persepsi atau tanggapan akan rasa sakit dengan stimulasi musik yang cocok. Misalnya, rasa ngilu “diobati” atau reda dengan suara denting lonceng. Sedangkan MVT adalah penggunaan vibrasi musik terstruktur yang berefek pada persepsi pasien akan rasa sakit, baik secara fisik maupun psikologis. Kekerapan dalam memberikan vibrasi musik pada pasien ini secara langsung dapat berhubungan dengan rasa sakitnya.
Dengan kondisi pasien yang rileks, rasa sakit bisa hilang dan kondisi tubuhnya menjadi semakin membaik. Efek domino pun terjadi. Kondisi pasien yang semakin membaik akan memperbaiki metabolisme tubuhnya. Antibodi sebagai tameng alami dari segala penyakit pun terbentuk dalam tubuh pasien, yang selanjutnya berperan aktif dalam proses penyembuhan berikutnya. Itulah jalan panjang musik dalam menyembuhkan suatu penyakit.
Karena tiap individu unik, maka menurut Loewy, terapi musik pun sangat individualistik. Artinya, pilihan musik masing-masing orang bisa berbeda-beda. Bisa saja Badu merasa rileks setelah mendengar musik klasik, sementara Bejo lebih suka jaz.
Dengung kesembuhan
Keampuhan musik sebagai penyembuh juga terendus oleh Hartadi Eko Pradigdo (22). Alumnus Ilmu Komputer UGM yang juga penggemar metafisika sejak SMP ini membuat sebuah peranti lunak MindSound yang salah satunya bisa mengobati migren. Cuma ada syarat tambahan. “Saat mendengarkan peranti lunak ini, visualisasikan bola cahaya terang mengitari atas kepala, kemudian masuk ke dalam kepala bola itu. Bayangkanlah terang bola lampu itu sangat menenangkan. Anda tersenyum dan merasakan kepala Anda semakin ringan dan rileks. Lalu sugestikan dalam diri Anda, 'Kepalaku semakin ringan dan nyaman. Aku semakin rileks dan segar', secara berulang-ulang. Ini dilakukan cukup 15 menit,” paparnya.
Hasilnya? Migren pun sirna.
Hartadi menjelaskan, MindSound menggunakan teknik Binaural Beats. Ini teknik untuk menghasilkan gelombang yang frekuensinya di bawah ambang batas dengar manusia, yakni 0,5 - 20 Hz. Secara langsung gelombang berfrekuensi rendah ini tidak dapat ditangkap telinga. Meskipun begitu, efeknya tetap terasa. Soalnya, ambang batas pendengaran manusia antara 20 - 20.000 Hz.
Teknik ini memanfaatkan hukum fisika. Ada dua gelombang yang berbeda frekuensi, namun memiliki amplitudo sama. Jika bertemu, dua gelombang ini akan menghasilkan selisih. Selisih dari dua gelombang inilah yang akan ditangkap oleh otak. Gelombang selisih itu akan menginduksi dan menginterferensi gelombang otak manusia. Efeknya akan membuat rileks.
Namun, jangan terlalu keras mendengarkan suara frekuensi ini, sebab malah bikin tidak nyaman. Selain itu, ada aturan durasi waktu penggunaan dan kebutuhannya. Untuk menggunakan peranti lunak ini pun diperlukan komputer multimedia dan headphone stereo.
Jangan kaget sewaktu mendengarkan suara dari peranti lunak ini. Tidak akan terdengar lagu merdu atau musik mendayu-dayu. Yang keluar hanyalah dengungan. Akan lebih baik kalau didengarkan lewat headphone stereo. Hasilnya akan lebih terasa. Sensasinya seperti ada yang melintas di antara isi kepala kita.
Ide tentang peranti lunak MindSound ini bermula tahun 2003. Hartadi yang sudah lulus dari SMAN 1 Denpasar, Bali, itu mengganggur karena tidak diterima di UGM. Putra dari pasangan Bambang Wahyono dan Darmawati Retno Utari ini lalu iseng-iseng membikin program komputer, hobi yang ditekuninya sejak SMP. Saat itulah ide untuk menggabungkan metafisika dan ilmu komputer muncul.
Lantas Hartadi mendalaminya lewat buku dan internet. Dari situs internet ia menggali lebih dalam tentang efek suara dan gelombang otak manusia. Ternyata gelombang otak manusia itu sangat peka terhadap getaran suara. Dari situs internet pula ia menemukan sebuah produk bernama Holosync yang memanfaatkan suara untuk mempengaruhi gelombang otak. Sayang sekali, harganya mahal padahal bermanfaat bagi kualitas hidup manusia. Akhirnya, utak-atik Hartadi berbuah MindSound yang tergolong murah tapi tak kalah kualitasnya dengan Holosync.
Salah seorang yang merasakan manfaat MidnSound adalah Reynaldo Parulian. "Waktu itu saya punya keluhan sulit tidur. Terkadang malah tidak bisa tidur sampai pagi lagi," keluh lelaki yang saat itu berstatus mahasiswa. Setelah ditawari oleh Hartadi dan mencoba MindSound, keluhannya berangsur hilang. Ia kemudian bisa tidur nyenyak dan segar esok paginya.
"Saat pertama mendengar, memang aneh. Cuma dengungan. Setelah 2 - 3 kali pakai langsung terasa perbedaannya. Sampai sekarang saya masih suka pakai software ini, sebelum tidur. Saya setel timer-nya 30 menit di komputer supaya pas saya terlelap, komputer otomatis mati sendiri," tambah Reynaldo yang juga menggunakan MindSound untuk meningkatkan konsentrasi belajar.
Cuma merangsang otak
Selain untuk penyembuhan, diyakini efek lain dari terapi musik adalah mencerdaskan. Dengan mendengarkan musik klasik karya Mozart bisa membuat anak menjadi cerdas. Benarkah begitu?
Simpan dulu jawabannya dan mari kembali ke masa 1993, ketika Gordon Shaw, seorang pencetus konser cello, dan Frances Rauscher, ahli pengembangan kognitif, untuk pertama kali mencetuskan efek Mozart. Mereka melakukan penelitian yang berkaitan dengan pengaruh musik klasik karya Wolfgang Amadeus Mozart itu dengan kecerdasan. Penelitian dilakukan di Universitas California.
Hasilnya, terdapat kesalahkaprahan! Sebenarnya, musik Mozart tidak membuat cerdas. Menurut Shaw dan Rauscher, terdapat pola pada saraf yang berinteraksi secara berurutan, dan ini muncul karena sebelumnya pada suatu bagian dalam otak merespons frekuensi tertentu. Hal ini tidak berarti bahwa dengan mendengarkan Mozart otomatis akan meningkatkan kecerdasan pada anak.
Memang, faktanya, dengan menstimulasi area pada otak yang berhubungan dengan kemampuan otak dalam imajinasi ruang, dan melakukan latihan rutin untuk kemampuan imajinasi ruang ini akan meningkatkan kecerdasan seseorang di bidang matematika, teknik mesin, catur, dan iptek. Singkatnya, musik Mozart merangsang kemampuan otak dalam imajinasi ruang. Cerdas di sini berhubungan dengan imajinasi ruang tadi.
Hal senada diungkapkan Dra. Iesye Widodo, S.Psi., terapis terapi musik untuk ibu hamil dan balita di Klinik Pela, Jakarta. "Tidak cukup hanya mendengarkan musik karya Mozart selama berjam-jam lantas anak jadi pintar. Bisa-bisa malah bosan. Tidak terasa efeknya. Terapi musik tak bisa dilakukan secara instan," tandasnya.
Iesye menjelaskan, efek Mozart terletak pada ketukan lagu yang seirama dengan irama detak jantung. Bagi pemula yang awam akan musik Mozart, untuk pertama kali jangan dipikir berat mendengarkan musik klasik ini.
“Nikmati saja,” ajaknya.
Dalam prosesnya, pasien tidak langsung diberi terapi mozart, tetapi diberi penjelasan lebih dulu tentang dasar-dasar perkembangan otak. Terapi musik akan efektif bila dilakukan sejak janin berusia 4 - 5 bulan (saat pertumbuhan otak sedang berlangsung). Kemudian dilanjutkan sampai anak berusia tiga tahun. “Selama saya menjalankan terapi ini, pasien saya ketika anaknya dites kecerdasannya bisa mencapai nilai tes IQ di atas 140,” akunya.
Setelah diberi pengenalan, baru dilakukan pengkondisian. Di sini si ibu hamil dikondisikan untuk rileks dengan melakukan relaksasi progresif dan relaksasi mental. Relaksasi progresif untuk melemaskan otot-otot dan mengatur napas si ibu. Sedangkan untuk relaksasi mental, si ibu hamil dibawa untuk berimajinasi dan mulai menghilangkan stresnya.
Tahap selanjutnya, stimulasi janin. Masih dalam kondisi rileks, bayi dalam kandungan dan ibunya diperdengarkan lagu klasik selama kurang lebih 30 menit. Tujuannya untuk merangsang otak kanan bayi. Dilanjutkan kemudian para ibu hamil bernyanyi bersama untuk merangsang otak kiri bayi. Reaksi bayi dari stimulasi akan dirasakan ibu lewat gerakan atau tendangan si calon bayi sebagai bahasa komunikasinya.
Yang terpenting, stimulasi ini dilakukan terus-menerus, tak hanya dilakukan saat latihan. Saat di rumah, ibu-ibu hamil disarankan pula terus melakukan stimulasi ini setiap hari. Selain itu Iesye juga menggunakan musik Mozart untuk menetralkan emosi ibu hamil. Dari pengalaman diketahui, emosi pada ibu hamil biasanya tidak bisa diprediksi karena perubahan yang terjadi pada tubuhnya. Hal ini normal, tetapi dengan terapi musik setidaknya bisa meringankan gejala yang timbul dari ketidakseimbangan ini.
Nge-charge sambil santai
Tak sekadar sebagai penyembuh dan pendongkrak kecerdasan, musik pun dapat berfungsi layaknya charger ponsel. Kala tubuh sudah low bat, jangan langsung ambil minuman suplemen yang bertaburan di warung. Cukup ambil kaset atau CD dan putarlah lagu di dalamnya. Namun, tentu bukan sembarang lagu. Untuk keperluan ini kita harus mengontak Erbe Sentanu.
Produk yang diberi nama Digital Prayer Technologies ini menggunakan teknik binaural beats juga. Bedanya, sudah dalam bentuk kaset atau CD, serta tidak hanya berupa bunyi dengung. “Kalau terlalu ketahuan, suaranya jadi aneh. Bunyinya bisa hanya uwek ... uwek ... uwek .... Tetapi gelombang itu pasti diterima otak,” ungkapnya. Ada lagu ringan dan suara-suara yang membikin rileks. “Tinggal masukkan kaset atau CD di tape atau CD player dan langsung rasakan khasiatnya,” ujar Erbe.
Erbe menggunakan audio teknologi yang sudah diteliti selama 40 tahun oleh Monroe Institute, AS. Hasilnya sudah tak diragukan lagi. Di sini ia tinggal menjual kaset, CD, dan pendampingannya saja. “Ada yang tidak perlu pendampingan cukup beli kasetnya, tekan tombol play, langsung nikmati saja perubahannya,” jelasnya.
Menurut Erbe, musik pembangkit energi ini tak selalu suara, jadi tak harus lagu. Bisa hanya bunyi noises atau kemeresek, desis, dan gemericik air. Otak manusia lebih mudah menerima ini. Berbeda dengan lagu yang malah bisa memancing ingatan kita pada hal tertentu sehingga jadi kacau. Tidak bisa rileks.
Pada dasarnya, kehidupan kita terlalu sering berada dalam kondisi gelombang beta, yakni pikiran dan akal yang kerap berjalan. Hidup jadi tidak sederhana. Contohnya saja, makan mesti makanan Eropa, tidur kurang karena gila kerja, dan ditambah gaya hidup yang kurang baik. Otomatis jadi tidak sehat secara batin dan jasmani.
Menurut Erbe, idealnya kita merasakan empat kondisi: alfa, beta, teta, dan delta. Keadaan ini disebut homeostatis, suatu kondisi ideal yang dibutuhkan manusia dalam kehidupannya sehari-hari. Ideal secara alamiah manusia. Misalnya, dalam kondisi alfa orang bisa makan teratur, istirahat teratur, segar, dan sehat.
Orang kota sekarang kekurangan gelombang alfa dan teta. Gelombang teta ada pada kondisi tubuh menjelang bangun tidur. Kondisi alfa kerap tidak terjadi karena tidur dipercepat dengan obat tidur. Masih ditambah lagi dengan keadaan dikejar untuk segera bangun subuh hari untuk aktivitas selanjutnya. Padahal gelombang teta berada di fase ini. Jika terus-menerus, alamiah tubuh ini kekurangan gelombang yang dibutuhkannya.
“Karena butuh praktis, cepat, dan efesien tinggal pencet tombol play dan rasakan. Teknologi audio ini ada,” jelasnya. Satu catatan, jangan mendengarkan musik ini saat menyetir, karena bisa bikin mengantuk.
Boks 1
MAU BELAJAR? DENGARKAN VIVALDI!
- Dengarkan lagu Mozart di segala kesempatan, tapi hanya bila Anda menikmatinya.
- Jangan memaksakan anak untuk mendengarkan lagu Mozart dengan tujuan meningkatkan kecerdasannya. Namun, ajak anak untuk menikmati bermacam jenis musik juga.
- Jika Anda ingin mengembangkan kecerdasan otak anak Anda secara spatial-temporal, cobalah menyuruhnya les musik.
- Musik barok Bach, Handel, dan Vivaldi dapat menciptakan suasana yang merangsang pikiran dalam belajar dan bekerja.
- Musik klasik Haydn dan Mozart mampu memperbaiki konsentrasi, ingatan, dan persepsi spasial.
- Musik romantik Schubert, Schuman, Chopin, dan Tchaikovsky dapat digunakan untuk meningkatkan rasa kasih sayang dan simpati.
Boks 2
ADDIE MS, "SEMUA MUSIK MEMBERI EFEK"
Menurut Addie MS, konduktor dan musisi klasik Indonesia yang terkenal dengan Twilight Orchestra-nya, musik klasik secara ilmiah terbukti memiliki khasiat. Ketika mempelajari musik klasik - terutama saat memainkannya - kita dilatih untuk rapi, disiplin, tertib, harmonis, tegas, dan kompak. Hal ini tak hanya berlaku dalam memainkan lagu, pelajaran ini berlaku juga untuk banyak bidang kehidupan.
“Sebenarnya, semua musik memberikan efek,” lanjut Addie. Soalnya, suasana keheningan saja bisa memberikan efek. Apalagi musik yang ada nadanya. Suatu alunan musik sudah dapat dipastikan kalau tidak merangsang otak pasti menenangkan.
Contohnya, pada musik klasik ada yang sifatnya “membakar” sel otak menjadi lebih aktif. Seperti karya Mozart, Vivaldi, dan Bach yang bertempo cepat. Ada juga musik klasik yang bisa untuk relaksasi. Temponya lebih lambat. Musik lain pun ada yang bisa digunakan untuk menenangkan seperti jenis musik New Age. Musik yang menenangkan ini biasanya sering diputar di spa atau pusat kebugaran.
Kalau mau melihat secara gamblang betapa hebatnya dampak musik, cobalah lihat orang yang baru pulang dari menonton konser musik. Gerak dan tingkah laku penonton suatu musik akan mencerminkan musik apa yang barusan dinikmati. “Kalau pulang dari menonton konser klasik, biasanya orang akan diskusi, berpikir ngomongin sejarah, komponis, dan sebagainya. Musik jaz orangnya akan becandaan,” paparnya.
Uniknya, suami dari artis Memes ini justru malah tidak menikmati efek dari musik. “Umumnya, orang nonmusik (awam - Red.) membeli musik untuk dicari efeknya. (Entah) untuk stimulasi, teman saat kerja atau makan. Untuk saya, sering musik malah tidak ada efek. Bila saya penat, saya memilih tidak mendengarkan musik. Misalnya, setelah enam jam latihan untuk konser, bagi saya musik apa pun tidak menjadi indah."
La iyalah, kata orang iklan, masak jeruk minum jeruk? "Saya biasanya langsung mandi dan merokok cerutu. Mengosongkan pikiran tanpa musik,” ungkapnya.
No comments:
Post a Comment