Tuesday, July 17, 2007

Onthel

Sori, ini bukan ojek sepeda!

Kring…kring…kring…kring suara sepeda kumbang

Kring…kring…kring…kring Bung Kumis pun tersenyum…

Penggalan lagu Kring Kring yang dilantunkan Vina Panduwinata ini rasanya pas mengiringi sekumpulan pecinta sepeda onthel kuno yang sedang asik kongkow-kongkow di seputaran Bundaran Hotel Indonesia, di Minggu pagi.

Dengan berkostum unik dan nyentrik, diantaranya ada yang berdandan ala kedaerahan berbaju surjan bertopi blangkon, berseragam pejuang ala jaman tahun 45, juga ada yang bergaya petani, guru, mandor tebu dan lain-lain. Mereka bebas memilih perannya. Seakan-akan waktu mundur sebentar ke masa tempoe doeloe.

Sebelum ada kendaraan bermotor, sepeda onthel ini merupakan simbol kemewahan. Bahkan sepeda sangat berjasa menjadi andalan dan berperan penting untuk membantu pekerjaan sehari-hari. Para mandor atau tuan tanah jaman kolonial Belanda, jika berkeliling, mengendarai sepeda onthel untuk mengecek hasil kerja para anak buahnya. Bahkan untuk melancong ataupun pelesiran bersama kekasih pun, rasanya bangga sekali naik sepeda onthel.

Sekarang justru berbalik, sepeda onthel menjadi simbol kesederhaan. Di Jakarta saja, sepeda onthel menjadi kendaran operasional ojek sepeda yang masih kerap dijumpai di daerah Stasiun Kereta Api Kota, Beos, atau Terminal Tanjung Priuk, Jakarta Utara. Termasuk menjadi kendaraan operasional tukang siomay keliling. Sepeda onthel yang pada boncengannya dipasangi panci blirik atau dandang alumunium berbentuk kerucut khas untuk dagang siomay.

Siapa pun boleh ikut

Tetapi beberapa orang yang berkumpul setiap Minggu pagi di seputaran Bundaran HI ini jelas bukan tukang ojek atau tukang siomay. Bermacam kostum yang mereka pakai termasuk merek sepeda yang mereka pakai sudah mencirikan siapa mereka yaitu Komunitas Onthel Batavia disingkat KOBA. Anggota KOBA yang tercatat sekarang sekitar 250an orang. Sedangkan yang rutin yang datang ke Bundaran HI setiap Minggu pagi kurang lebih ada 170 sepeda yang berjejer. Mereka tidak dipungut iuran meskipun ada presensi. Siapapun boleh ikut. Syarat menjadi anggota KOBA cukup punya sepeda kuno tidak terpatok merek atau negara asal tertentu asal bentuknya harus khas onthel.

Secara resmi KOBA lahir 17 Agustus 2005 di Gedung Joang 45, Menteng, Jakarta Pusat. Saat deklarasi, komunitas ini anggotanya baru 75 orang. Cikal bakal komunitas onthel ini sebenarnya sudah ada sejak tahun 1992. Dari sembilan orang pecinta onthel yang tiap Minggu pagi berkumpul pukul 06.00-08.30 di pelataran Monas, namanya Perkumpulan Sepeda Tempo Doeloe Batavia, Silang Monas, mereka berkumpul sekedar untuk berolahraga. Sembilan orang ini menggenjot sepeda tuanya dari rumahnya masing-masing di Manggarai, Cakung, Tanah Abang, dan Fatmawati. Kegiatan saat kumpul-kumpul ini selain putar-putar sekitar Monas, ngobrol seputar pengalaman keseharian juga bertukar cerita tentang riwayat sepeda masing-masing.

Lambat laun dari sembilan orang ini bertambah terus dari generasi pensiunan sampai profesional muda yang masih aktif. Dari berbagai latar belakang profesi, seperti pegawai negeri sipil, pengacara, pengusaha, pensiunan polisi, wiraswasta, sampai mahasiswa, mereka membaur dalam satu wadah hobi merawat, mengendarai, hingga mengoleksi sepeda onthel tua. Jangkauannya pun meluas hingga Jabodetabek.

Ketua KOBA sekarang yakni Jhon al Fauzy (54) seorang pensiunan pekerja tambang. Menurut bang Jhon begitu ia akrab disapa, KOBA muncul untuk mewadahi keinginan beberapa orang pecinta onthel khususnya yang muda-muda untuk berkembang. Untuk itu orang perlu tahu keberadaan mereka. Karena kalau di dalam Monas tidak mudah dilihat orang, sebagian pindah ke Bundaran HI sampai sekarang. Lima sampai sepuluh sepeda yang di dalam Monas juga masih ada sampai sekarang.

Kegiatan KOBA semakin semarak. Selain sebagai penggembira di berbagai acara seperti pawai budaya. Mereka juga kerap mengadakan touring temu pecinta sepeda ke daerah lain, se Jawa-Bali. Sampai yang terakhir ini KOBA menghiasi video klip grup musik rock Slank.

Makin tua makin disayang

Mendapatkan sepeda onthel antik ini bukanlah perkara mudah. Karena sudah tidak diproduksi lagi. Apalagi kelengkapan asesoris sepeda dan spare part nya juga sudah sulit sekali ditemui, otomatis harganya cenderung selangit. Mencari kelengkapan sepeda yang langka juga merupakan keasikan tersendiri bagi para pecinta onthel antik. Biasanya mereka menggunakan jaringan pertemanan dan komunitas onthel di daerah lain supaya bisa mendapat harga “persaudaraan” yang pas.

Satu contoh, untuk sepeda merek Gazelle orisinil dan masih lengkap, dan tentunya semuanya masih berfungsi, di tangan kolektor harganya bisa mencapai Rp6 juta. Setara dengan harga sepeda motor bebek bekas tahun 2000an.

Berbagai sepeda telah hadir di masyarakat sejak akhir tahun 1800an. Tak lepas dari peran Belanda sejak jaman penjajahan dulu. Ada beberapa macam merek masuk ke Indonesia, dan masing-masing merek memiliki penggemar fanatik. Diantaranya merek Belanda ada Simplex, Fongers, Burgers, Gruno, Juncker, dan Gazelle. Merek Simplex dan Gazelle adalah dua merek populer dan paling dicari kolektor. Karena sejak jaman dulu sepeda ini biasa dipakai para bangsawan Belanda. Untuk Simplex diproduksi mulai tahun 1887 oleh Simplex automatic Machine Company di Utrect, Belanda. Sepeda onthel selain bikinan Belanda juga dicari kolektor seperti Raleigh buatan Inggris, Solingen buatan Jerman, dan merek-merek sepeda lain buatan Eropa.

Bagi pecinta onthel tua, naik sepeda onthel sudah menjadi bagian dari gaya hidup. Walaupun dipakai hanya sesekali saja. Sedikit yang memakai onthel untuk berangkat kerja sehari-hari. Maklum jalan raya di Jakarta tidak bersahabat bagi pengendara sepeda. Kebanyakan dari mereka memang menyimpan kenangan indah akan sepeda onthel. Bisa karena orang tua atau kakek neneknya dulu memiliki sejumlah sepeda onthel. Atau keinginan yang terpendam ketika dulu sering melihat kegagahan sepeda onthel yang melintas, tetapi belum bisa memilikinya. Nah, sekarang akhirnya terpenuhi.

Sepeda antik ibarat pakaian. Sepeda apa yang dipakai menaikkan gengsi yang mengendarai. Makin tua dan orisinil makin perlente. “Meskipun hal ini tidak terucap secara langsung antar anggota komunitas,” ucap Alam seorang wirausahawan muda, pengusaha katering di daerah Palmerah, Jakarta. Buat Alam hobi memiliki sepeda onthel ini punya dua misi, pertama untuk menyehatkan tubuhnya yang gemuk gempal agar tetap rajin berolahraga dengan mengayuh sepeda. Kedua untuk menambah luas jaringan pertemanannya sekalian berbisnis.

Sekalian berbisnis, karena komunitas ini bagi yang sudah kawakan, koleksi sepedanya bisa puluhan. Dan dari bermacam merek. Memiliki satu buah sepeda onthel saja rasanya belumlah cukup. Jenis sepeda onthel dianalogikan seperti sebuah keluarga, ada ayah, ibu dan anak-anak. Dari bentuk sepedanya saja, ada onthel jenis laki-laki (ditandai besi melintang horisontal antara setang dan sadel), onthel perempuan ( tak ada besi melintang), onthel anak-anak dan remaja (ukurannya lebih kecil dari onthel dewasa). Sehingga penggila onthel minimal paling tidak memiliki lima atau lebih sepeda onthel.

Asesoris sepeda onthel juga unik. Untuk lampu penerangan bentuknya disesuaikan, ada yang menggunakan lilin, berbahan bakar minyak, sampai menggunakan karbit, atau yang umum dipakai menggunakan dinamo sepeda. Yaitu motor listrik kecil yang ditempelkan pada roda sepeda. Bel sepedanya juga macam-macam, dari yang biasa berbunyi kring-kring sampai yang suaranya seperti terompet. Sirine sepeda juga ada, yang biasa dipakai oleh polisi bersepeda. Tetapi bunyinya tidak seperti sirine yang sekarang, malah seperti suara burung pipit tetapi nyaring sekali. Sepeda polisi jaman dulu ini juga dilengkapi mesin, lho.

Sepeda antik ini bisa menjadi semacam investasi. Kalau sedang butuh cepat dana segar, salah satu koleksi bisa dijual antar kawan pecinta onthel. Seperti Alam, ia memiliki puluhan sepeda onthel dari yang masih bangkai tak lengkap sampai yang lengkap dan orisinil. Kalau ada teman yang tertarik atau sedang butuh dana, ia rela melepas salah satu koleksinya. “Tapi tidak semua sepeda saya berharga mahal. Ada yang saya beli ratusan ribu saja,” ujarnya merendah. “Menjual sepeda antara kawan lazim dilakukan. Kolekdhol, istilahnya. Kolektor tapi bisa didhol (dari bahasa Jawa yang artinya dijual),” tutur bang Jhon yang punya 30an sepeda ini mengiyakan.

Teliti perlu biar tak ketipu

Simplex dan Gazelle adalah dua merek sepeda yang paling populer dan dicari. Bahkan dua merek sepeda ini kerap dibuat tiruannya. “Tidak semua orang mau jujur memberi tahu tips-nya, apalagi pedagang sepeda antik. Dengan bermacam alasan, seperti sulit, lah, tidak semua sepeda sama modelnya, macam-macam berkelitnya,” ujar Alam sambil geleng-geleng. Padahal kalau mau jujur, sebenarnya karena mereka tak mau tersaingi karena sama-sama ingin berburu barang yang asli tetapi murah.

Alam pernah tertipu saat membeli sepeda Gazelle pertama kali. Harganya, murah hanya Rp300 ribuan. Penampilan sepeda begitu mengecoh, apalagi waktu itu ia masih pemula, pasti tidak bisa membedakannya. Dari pengalaman, plus giat membaca literatur tentang sepeda tua akhirnya ia memiliki panduan sederhana selain mengandalkan intuisinya. Sekarang ia sudah memiliki sepeda Gazelle yang asli seri 11(nomor seri ada 6 digit diawali angka 11x.xxx sering disebut seri 11 untuk memudahkan) buatan tahun 1917. Sepeda bersejarah ini termasuk saksi keganasan tsunami di Aceh. Sepeda ini tubuhnya ada yang penyok di beberapa tempat. Dibeli Alam dari seorang kawannya yang relawan di Aceh. Waktu itu relawan ini membeli sepeda dengan harga murah untuk kendaraan operasionalnya. Sebagai kenangan ia membawanya ke Jakarta kondisi seadanya tidak lengkap dan akhirnya jatuh ke tangan Alam. “Sempat sepeda ini mau dibeli kembali, setelah sudah dilengkapi dan orisinil, tetapi tidak saya lepas” ucap Alam sambil tersenyum.

Sepeda Gazelle dari milik bang Jhon didapat dari seorang kawan di daerah Depok dalam kondisi rusak tak terawat, tergolong barang langka, karena termasuk sepeda orderan alias ukurannya dipesan sesuai tinggi pemakai. Dulunya bekas dipakai seorang pastur Belanda, sepedanya bernomer seri 6, posturnya tinggi gagah buatan tahun 1943. “Saya kalau berhenti harus cari trotoar dulu,” ujar bang Jhon malu-malu. Menurutnya, Gazelle sulit dipalsu karena hampir semua bagian sepeda ada nomer seri atau stempel gambar kijang lompat di lampu, velg, setang, gir depan, dan garpu depan. Ciri khas lain Gazelle bagian “paha belakang” sepeda dari atas ke bawah ukurannya mengecil. Saat dikendarai, kalau agak kencang mengayuhnya ban depan Gazelle seperti mau lompat-lompat bak kijang. Ringan dikendarai dan tidak mudah lelah meskipun jarak tempuhnya jauh.

Peredaran sepeda onthel antik biasanya berputar antar pecinta onthel antik juga. Komunitas pecinta onthel punya komitmen untuk menjaga sebisa mungkin sepeda onthel antik ini tidak keluar negeri. Pulang kembali ke negeri asalnya untuk dikoleksi kolektor asing. Namun, kini mereka saling berlomba dengan para pedagang barang antik.

No comments: