Wednesday, July 18, 2007

Vogel


Kearifan lokal yang mendunia

Alfred Vogel menyuguhkan keampuhan herbal serta mengandalkan kearifan lokal nenek moyang sebagai penyembuh. Bermacam ramuan herbal suku primitif ia kembangkan, menjadikannya pengobatan ilmiah alamiah untuk berbagai macam penyakit.

---

Mungkin kita pernah mendengar dan tahu kalau terserang diare dianjurkan untuk mengunyah pucuk daun jambu biji muda atau buah salak muda. Dan, masih banyak lagi kearifan lokal lain yang bisa digali. Mengenai penyembuhan secara alamiah ini, sebagian orang percaya akan anjuran ini, sisanya menolak dengan alasan tidak ilmiah.

Alfred Vogel kelahiran Aesch, Basel, bagian negara Swiss tahun 1902, seorang ahli nutrisi, herbalis dan naturopati terkenal, justru mengumpulkan berbagai macam kearifan lokal ini. Selanjutnya, ia pelajari dan kembangkan. Vogel menggalinya dari pengalaman keluarganya sendiri hingga menjelajah antar benua, untuk mencari kearifan lokal dari Afrika, Asia, Amerika Utara hingga Amerika Selatan. Koleksi kearifan lokal ini ditahun 1952 oleh Vogel dijadikan sebuah buku berjudul The Nature Doctor, a manual of traditional & complementary medicine, yang hingga saat ini telah dialihbahasakan ke dalam 12 bahasa.

Keampuhan obat-obatan yang diramu dari macam-macam tumbuhan, ia buktikan sendiri, termasuk warisan berbagai macam ramuan obat dari suku primitif yang ia datangi. Seperti yang terjadi di awal tahun 50an, dalam penjelajahan herbalnya, Vogel sempat tinggal bersama penduduk asli Amerika Serikat yaitu suku Indian Sioux. Ia kagum akan kebiasaan suku asli ini yang menggunakan tumbuhan untuk kesehatan mereka. Hingga kemudian ia akrab dengan seorang dukun suku Indian Sioux ini yang bernama Ben Black Elk. Keduanya, saling berbagi pengalaman dan pengetahuan. Sampai akhirnya sang dukun rela memberikan ramuan rahasianya kepada Vogel. Salah satunya adalah bunga purple coneflower atau dalam bahasa latinnya, bernama Echinacea purpurea.

Pada perjumpaan terakhir di South Dakota, Black Elk memberikan bibit Echinacea pada Vogel sebagai hadiah. Bagi suku Sioux, bunga ini ampuh untuk menyembuhkan segala macam penyakit seperti digigit ular, luka atau memar termasuk untuk memperkuat daya tahan tubuh terhadap penyakit. Setibanya di Swiss bibit bunga ini ia tanam dikebunnya. Alhamdulilah, Echinacea dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Hingga sekarang bunga ini dipakai untuk bahan baku produk Echinaforce yang telah dipasarkan ke lebih dari 30 negara dan dipercaya sebagai obat batuk dan flu. Sedangkan di sini produk Vogel dapat dijumpai di apotik dan toko obat terkemuka.

Dalam karya kesehatannya, Vogel meyakini betul bahwa untuk menjaga dan memulihkan kesehatan tubuh, semuanya sudah diberikan Sang Pencipta lewat alam ciptaanNya. Keyakinan ini tak lepas dari pengalamannya sewaktu kecil. Ia mengenal terapi pengobatan dengan memanfaatkan bermacam jenis tumbuh-tumbuhan dari orang tuanya yang merupakan warisan dari neneknya. “Bahkan, saya tidak pernah bermimpi kalau pengalaman kecil saya dengan tanaman obat akan menjadi bagian dari profesi saya,” begitu ucap Vogel yang meninggal dalam tidurnya di tahun 1996 pada umur 94 tahun.

Walaupun Vogel telah wafat, warisan kearifan lokal dari berbagai benua dan ramuan obat herbalnya hingga kini masih bisa dimanfaatkan berkat usahanya mendirikan perusahaan farmasi berbasis herbal, Bioforce, yang didirikannya tahun 1963, di Roggwil, Swiss. Dari pabrik farmasi ini selain menghasilkan produk unggulan Echinaforce, masih ada 35 jenis produk Bioforce lain berupa pengobatan natural untuk rematik hingga prostat termasuk juga makanan organik seperti Muesli (sarapan yang terdiri dari sereal, durian, dan apel) Herbamare (bumbu penyedap alami) dan Molkosan (suplemen untuk pencernaan).

Lebih manjur dibuat tincture

Semua produsen obat yang berbahan baku herbal kerap mengaku produknya alamiah. Namun, ada yang lain dari Vogel. Ceritanya bermula di tahun 1933 Vogel mendirikan klinik naturopati di desa Teufen, masih di Swiss, dengan memanfaatkan pengetahuannya tentang obat-obatan herbal yang ia kuasai. Di sini ia juga menanam sendiri tanaman obatnya. Kini sepeninggalnya, rumah ini tak lagi menjadi klinik berubah menjadi museum Vogel dan tetap menjalankan hotline service untuk konsultasi kesehatan. Terletak di kaki gunung Santis yang pemandangan puncaknya diselimuti sedikit salju.

Dari pengalaman mengobati pasien di kliniknya ini, Alfred Vogel menemukan pencerahan. Tanaman obat yang akan ia jadikan obat akan lebih manjur jika masih dalam keadaan segar dibandingkan jika tanaman obat itu sudah dikeringkan. Padahal, dari kebiasaan, kebanyakan obat herbal diramu dari berbagai tanaman yang dikeringkan. Vogel tidak mencampur terlalu banyak herbal. Baginya lebih sedikit jenis herbal yang dipakai lebih baik. Semakin jelas keampuhan satu jenis tanaman obat tersebut.

Lantas, Vogel mempelajari dan mengembangkan teori yang ia temukan ini. Untuk mendapatkan ramuan obat yang masih segar ditempuh cara membuat herbal tincture dari tanaman segar. Tincture adalah salah satu metode ekstraksi kuno yang dipakai hingga sekarang untuk mengekstrak tumbuhan dengan alkohol yang dapat diminum. Caranya, tumbuhan segar dicacah halus kemudian direndam dalam alkohol yang dicampur air beberapa saat, ampasnya disaring, jadilah tincture. Fungsi alkohol menyerap zat aktif dalam tumbuhan, selain itu juga sebagai pengawet. Berkat alkohol kemanjuran tincture bisa bertahan hingga dua tahun. Kandungan zat dalam tincture setara dengan kandungan zat pada tanaman yang masih fresh, dan semua bagian dari tumbuhan bisa dijadikan tincture. Agar memperoleh tincture yang berkualitas dibutuhkan tanaman obat yang benar-benar segar. Vogel mengambil langsung dari hasil kebunnya atau ia kumpulkan dari lingkungan sekitar gunung tempat ia tinggal. Hingga sekarang praktik ini dilakukan oleh pabrik farmasi Bioforce tetapi tidak mengambil dari sekitar gunung lagi, tanaman obat yang baru saja dipanen dari kebun sendiri pada pagi hari, segera diproses untuk dijadikan tincture, termasuk suplai dari petani. Sehingga tak heran kalau pabrik obat Bioforce ini serasa tenggelam dikelilingi hamparan kebun bunga Echinacea dan tanaman obat lain.

Kebun yang sungguh alamiah

Meskipun kebun tanaman obat Bioforce yang ada di Swiss produksinya mencapai 300ton per tahun. Mereka anti menggunakan pestisida. Perkebunan dibudidayakan secara organik, bahkan sampai bibit yang dipakai murni secara genetik dari bibit tanaman yang bunganya masak. Tidak ada rekayasa genetika untuk bibit tanamannya. Vogel justru membiarkan kebunnya tumbuh sealamiah mungkin, apa adanya layaknya di alam bebas. Karena di situlah sumber energi atau natural power.

Bahkan untuk sektor kebun sayur dan buah organiknya pun, Vogel tidak membutuhkan banyak air. Benar-benar tumbuh seperti adanya. Alasannya, karena mencontoh dari alam, sesungguhnya sayuran dan buah bisa tumbuh subur. Tidak ada yang memberi pupuk dan tidak ada yang menyirami. Kecuali benar-benar butuh air saja. Murni dari alam tak begitu banyak campur tangan manusia. Bahkan, saat musim dingin pun kebun Vogel masih bisa panen wortel.

Tanaman sayuran ditata dalam satu blok jalur tanam yang lebarnya kurang lebih 1,5 m, sebelumnya tanah dibentuk mengkerucut kemudian ditanami 6-9 jenis sayuran yang berjarak sekitar 10 cm saja. Apakah tanaman ini tidak rebutan tempat? Tidak juga, karena panennya tidak bersamaan. Sayuran diatur sedemikian rupa, yang panen belakangan yang paling banyak mengambil tempat. Tanahnya sendiri, perpaduan antara tanah, serpihan kayu, ranting, dahan dan dedaunan. Sesekali dibolak-balik supaya bernafas, dengan alat pertanian yang terbuat dari tembaga. Dipilih tembaga karena dia tidak mudah berkarat dan tidak mengkontaminasi tanah.

Kompos diberikan seperlunya saja yang didapat dari ampas hasil dari pemrosesan tincture atau sampah dedaunan di sekitarnya. Suatu hal yang agak aneh untuk skala pabrikan yang butuh hasil panen yang begitu melimpah dan dalam waktu yang relatif cepat. Memang mereka juga mendapat suplai dari petani sekitar yang syaratnya harus sesuai dengan ketentuan Bioforce.

Bioforce tidak ngoyo dalam berproduksi. Kualitas diutamakan, kalau bunganya tidak layak dipanen ya ditunggu sampai layak panen. Tanahnya pun tidak semua ditanami, ada masa tanah dibiarkan begitu saja untuk beristirahat setelah panen pertama. Istilahnya masa mengumpulkan energi lagi untuk masa tanam berikutnya.

Bagaimana mereka mengatasi hama tanpa pestisida? Sangat sederhana, hama tanaman baik gulma (tanaman pengganggu) ataupun serangga dibiarkan hidup berdampingan. Untuk serangga, juga kelelawar justru dibuatkan rumah-rumahan. Rahasianya, adalah rantai makanan dan simbiosis mutualisme. Tanaman pengganggu kadang justru lebih disukai serangga, maka dibiarkan tumbuh. Lantas, serangga yang sudah dibuatkan rumah tadi, jika saatnya keluar main, nantinya akan disantap oleh kelelawar.

Meskipun kebun dan produk Vogel sungguh alamiah bahkan sungguh primitif, mereka melakukan standarisasi. Mereka menganut holistic standardisation dimana kualitas herbal diukur dari tumbuhan keseluruhan. Diukur spektrum ingredientnya di laboratorium dan mengikuti level tertentu.

Proses ini berbeda dari chemical standardisation, dimana satu komponen dari tumbuhan diukur kemampuannya, dan hanya satu bagian saja tidak secara keseluruhan tanaman. Bioforce justru menganut holistic standardisation karena meyakini bahwa semua bagian dari tanaman menyumbang peran efek penyembuh. Dan, daya penyembuh itu berada dalam tincture yang setara dengan tumbuhan aslinya.

Sepak terjang Vogel dalam bidang pengobatan natural telah diakui dunia, di tahun 1982, Vogel mendapat penghargaan Priessnitz Medal dari German Naturopathic Society. Dua tahun kemudian menjadi anggota kehormatan dari Swiss Society for Empirical Medicine (1984). Sedangkan Bioforce sendiri adalah industri farmasi modern, meski produknya berbasis pada pengetahuan dan tradisi para herbalis. Keilmiahan produk Vogel telah diuji oleh lembaga terpercaya (seperti badan pengawasan obat dan makanan di sini) maupun studi independen, dengan penelitian dan arahan dari tim herbal advisor yang dukung oleh ahli nutrisi, ahli farmasi dan juga quality control.

Berkat Vogel, kearifan lokal menjadi ilmiah dan mendunia. Siapa tahu kita pun bisa mengikuti jejaknya.

No comments: