Monday, February 26, 2007

Alih Profesi? Pikir Masak-masak


Alih Profesi? Pikir Masak-masak
Oleh: A. Bimo Wijoseno


Penulis: A. Bimo Wijoseno

Karier terus melaju tentu dambaan pekerja atau karyawan. Bukan hanya demi kesejahteraan lahir yang meningkat, tetapi juga kepuasan batin. Namun, orang sering dihadapkan pada pilihan untuk tetap menekuni pekerjaan yang sedang dijalani, pindah ke tempat kerja lain, atau bahkan alih profesi. Apa pun pilihannya, pertimbangan matang diperlukan.
=====
Sudah 10 tahun Kenny Gunadi - sebut saja begitu - bekerja sebagai fotografer di sebuah studio foto di Jakarta. Namun, sebagai juru foto pengantin ia merasa, kariernya mandeg. Karier tak naik-naik. Tidak beranjak jadi supervisor atau manajer, misalnya.
Sejak hari pertama bekerja hingga hari ke 3.650, tugasnya itu-itu melulu. Memegang kamera, mengatur posisi pengantin, lalu jepret-jepret. Sempat pula ia berpikir untuk alih profesi menjadi koki atau juru masak. Kebetulan, ia gemar dan jago memasak. Kini, ia betul-betul berada di simpang jalan.
Di tengah kebimbangan itu, ia memutuskan bertanya pada orang yang berkompeten. Kebetulan ia kenal baik dengan F.X. Sigit Eko Widyananto yang aktif sebagai konsultan sumber daya manusia dari Pendulum Indonesia Consulting, Jakarta.
Dari Sigit, Kenny akhirnya tahu bahwa ada bermacam alasan yang bisa membuat seseorang bertahan atau tidak pada pekerjaan yang sedang dilakoninya. Salah satunya, berhubungan dengan pendapatan (take home pay). "Gaji ataupun pendapatan yang diterima menjadi alasan yang paling banyak dipertimbangkan oleh orang yang ingin berpindah atau bertahan pada tempat ia bekerja," jelas Sigit.
Selain itu juga faktor tunjangan dan fasilitas tertentu yang diberikan oleh perusahaan atau tempat kerja. Semisal tunjangan kesehatan, fasilitas rumah, pinjaman ringan, dan sebagainya.
Satu hal lagi yang belakangan juga ikut dipertimbangkan, yaitu faktor jarak dari rumah atau tempat tinggal ke lokasi tempatnya bekerja. Tampaknya sepele, tetapi berpotensi menjadi masalah. Apalagi bagi orang yang bekerja di kota besar seperti Jakarta. Jarak yang jauh dan macet serta makin tingginya ongkos transportasi bisa bikin orang berpikir untuk pindah tempat kerja atau ganti profesi.
Namun, memutuskan untuk pindah kerja atau alih profesi bukan urusan mudah. Menurut Sigit, dibutuhkan dorongan atau alasan yang kuat untuk itu. Berpindah pekerjaan, apalagi ganti profesi, jelas mengandung risiko di masa depan. Di sana ada ketidakpastian, apalagi orang harus memulainya dari awal. Persoalannya akan semakin rumit jika ia sudah beranak-istri.
Hubungan atau relasi sosial yang luas memang sering memudahkan seseorang mendapatkan informasi tentang lapangan kerja baru yang lebih menjanjikan dalam soal jenjang karier. Ini tentu peluang. Namun, itu pun tidak ada jaminan. Kalaupun akhirnya harus memilih, tetapkan secara hati-hati, realistis, dan fair, agar tidak menuai penyesalan di kemudian hari.

Bekerja serius
Lantas bagaimana dengan persoalan Kenny? Ia sudah merasa nyaman di tempat kerjanya. Namun, persoalannya, kenapa jenjang kariernya tidak naik-naik? Adakah sesuatu yang salah?
Harus ditelaah lebih dulu, apa yang membuat karier Kenny tidak beranjak naik. Sigit bilang, sewaktu hendak bekerja di suatu kantor atau perusahaan, sebaiknya kumpulkan informasi yang cukup tentang kantor atau perusahaan itu. Cari tahu apakah dalam formasi strukturalnya terdapat peluang untuk naik jenjang atau tidak. Dalam kasus Kenny, mungkin di studio foto tempatnya bekerja tidak ada formasi itu.
Kalaupun misalnya ada formasi yang memungkinkan pekerja atau karyawan untuk naik jenjang, perlu juga diketahui soal kriterianya. Apakah berdasarkan pada prestasi yang dicapai, kompetensi, keterampilan, atau kemahiran? Apakah berdasarkan pada senioritas? Atau, mungkin karena faktor hubungan keluarga yang biasanya ada pada perusahaan keluarga?
Kita tahu, di beberapa instansi kenaikan jenjang karier berjalan otomatis mengikuti masa kerja. Namun, di beberapa perusahaan lain kesempatan naik jenjang atau karier karyawannya dibuka berdasarkan prestasi yang dicapai (merit system).
Kalau sistem yang terakhir itu yang berlaku, saatnya kini meraih posisi itu dengan cara mengejar prestasi sebaik-baiknya.
"Prinsipnya, untuk bisa naik 'pangkat' kita harus bekerja dengan sungguh-sungguh. Bukan dengan cara menjilat atasan," ujar Sigit. Hambatan dalam meraihnya tentu saja ada. Namun, sebaiknya jadikan hambatan itu sebagai tantangan. "Kalau kita bekerja secara benar, cepat atau lambat akan terlihat apa yang sesungguhnya. (Kalau ada) penilaian negatif, akan berangsur berubah dengan sendirinya," tambah Sigit.
Lalu, bagaimana membuat diri kita menonjol dibandingkan dengan yang lain? Tentu dengan melakukan sesuatu yang bisa dianggap sebagai prestasi di tempat kerja. Prestasi yang jauh lebih tinggi dari yang dicapai teman sekerja lainnya. Misalnya, kalau bekerja di bidang marketing atau penjualan sebagai salesman, buatlah pencapaian target penjualan yang lebih dari yang lain.
Untuk mencapainya perlu strategi pribadi yang tangguh, dan mungkin juga pengorbanan. Misalnya, dengan menyediakan waktu bekerja lebih banyak, berpikir dan bertindak kreatif, atau bahkan berani mengeluarkan dana pribadi agar bisa mengejar pencapaian yang jauh melebihi target. Bisa juga dengan melakukan perjalanan jauh untuk mendapatkan pelanggan baru, dan sebagainya. Intinya, bekerja keras tapi juga cerdas.

Tiga faktor bikin betah
Kenny yang fotografer sempat tergoda untuk beralih profesi menjadi koki. Menurut Sigit, seseorang akan memutuskan pindah kerja atau alih profesi dari pekerjaan lamanya bisa karena beberapa faktor. Di antaranya, ambang batas toleransinya sudah terlampaui, kejenuhan, dan hubungan interpersonal dengan rekan sekerja kurang baik.
Untuk mengetahui apakah keputusan pindah kerja atau alih profesi itu tepat atau tidak, perlu pertimbangan yang realistis dan berimbang, agar keputusan yang diambil bukan berdasarkan emosi semata. Misalnya, karena sudah bosan di tempat lama atau lebih enak di tempat baru karena banyak bertemu teman lama.
Sedikitnya, ada tiga faktor yang membuat orang betah atau bertahan pada profesi atau tempat kerjanya. Pertama, ia bekerja di lingkungan yang mendukung karena aman dan nyaman (misalnya, tidak ada politik kantor). Kedua, gaji atau pendapatan yang ia terima sudah dianggap cukup. Ketiga, pekerjaan yang digelutinya sesuai dengan minat dan bakat.
Kalau satu dari ketiga hal itu tidak terpenuhi, biasanya orang akan mempertimbangkan untuk alih profesi atau pindah ke tempat kerja yang lain. Alih profesi pun perlu pertimbangan masak. Misalnya dengan menilik kemampuan yang dimiliki, seperti keterampilan, bakat, kompetensi, juga kemahiran. Juga menggali lagi minat dan cita-cita yang belum terlaksana. Yang tidak kalah penting, harus yakin apakah kita benar-benar mahir tentang bidang (baru) yang dipilih.
Cara melihat dan menggali kemampuan itu bisa dengan menelisik kembali intisari riwayat hidup kita. Sebagian besar waktu kita itu ada di mana? Kemudian tilik bagian mana yang membuat diri kita berprestasi. Juga dilihat apakah kita punya kebiasaan bekerja dalam tim atau bekerja sendirian. Lalu, apakah kemahiran atau keterampilan yang kita peroleh melalui pendidikan, pelatihan, atau magang bisa dijadikan pegangan atau tidak, atau masih perlu diperdalam lagi.
Setelah itu, saatnya kita bermain dengan pilihan. Yakini kalau pilihan kita tidak salah. Tentukan minat ke arah yang kuat, dibarengi membuat skema kerja: apa yang akan dicapai dan apa saja yang akan dikerjakan pada tahun pertama, kedua, ketiga, dan seterusnya. Di kantor baru biasanya semangat kerja juga baru. Nah, pergunakan suasana itu untuk memacu kinerja.
Kini Kenny tidak bingung lagi. Ia sudah tahu ke arah mana kakinya melangkah, agar keterampilan yang dimilikinya bisa menggiringnya ke arah yang membuatnya sejahtera lahir dan batin.

powered by performancing firefox

1 comment:

Anonymous said...

bayar tagihan telfon 200 ribu atau 300 ribu, biasa aja kalee! gue pernah bayar tagihan telfon ampe 700 ribu.