Wednesday, February 28, 2007

Bisa Nikmat, Asalkan ....


Hemat Bisa Nikmat, Asalkan ....
Oleh: A. Bimo Wijoseno


Penulis: A. Bimo Wijoseno

Naiknya harga BBM 1 Oktober 2005 lalu jelas-jelas membuat hampir seluruh keluarga di Indonesia klenger. Mengeluh atau protes atas kebijakan sepihak pemerintah ini rasanya percuma saja. BBM tetap saja naik harganya. Kini saatnya bagaimana menyiasati keadaan yang serba sulit ini agar tidak menjadi semakin terbelit.
=====
Saat makan siang di warung bersama teman-teman sekantor, terdengar sebagian percakapan mereka.
"Huh, harga BBM naik gila-gilaan, tapi penghasilan masih tetep aja. Mau berhemat, apa yang mau dihemat. Semua harga kebutuhan lain juga sudah ikut-ikutan naik."
"Sudahlah enggak usah stres. Nikmati aja hidup ini dan always smile ... biar enggak stres,” timpal teman yang lain.
Waduh, setelah dipikir-pikir memang tidak mudah mengatur keuangan di saat sekarang. Kalau hanya senyum-senyum saja seperti kata teman tadi, apa malah tidak dibilang stres?
Melihat situasi dan kondisi saat ini memang saatnyalah sekarang hidup berhemat. Caranya? Tidak ada salahnya mengintip kondisi keuangan Yunika, sebut saja begitu, seorang guru matematika di sekolah swasta terkenal di Jakarta Pusat. Sebagai guru matematika, ia pun menyiasati pengeluarannya dengan mematematikakan penghasilannya.
“Memang kita harus pintar-pintar mencari celah penghematan. Dan yang terpenting, mencatat setiap pengeluaran meskipun hanya Rp 50,-. Ini untuk mengendalikan pengeluaran. Kemudian catatan ini direkap tiap bulan. Secara otomatis kita bisa berhemat,” paparnya.
Meskipun masih lajang, secara lengkap dan teratur Yunika merinci keuangannya demikian; setiap habis gajian ia menyediakan beberapa amplop dan memisahkan uangnya untuk masing-masing pos pengeluaran. Dari penghasilannya yang Rp 2,5 juta, untuk biaya transpor per bulan Rp 600.000,-, makan Rp 150.000,-, langganan majalah dan koran Rp 75.000,-, listrik, PAM, dan telepon Rp 250.000,-, cicilan KPR Rp 1,3 juta, biaya gas Rp 60.000,-. Masih ada sisa Rp 65.000,-. “Nah, sisanya ini ditabung. Lumayan, meski sedikit. Kuncinya, beli apa yang kita butuhkan, bukan yang kita inginkan,” ujarnya.
Apakah cara yang dilakukan Yunika itu tepat atau tidak, kita coba konfirmasi ke pakar ekonomi, Roy Sembel, Ph.D.

Mengubah pola pikir
Menurut Roy Sembel, definisi kebutuhan sehari-hari terus berkembang dari waktu ke waktu. Maksudnya, coba kita ingat kembali ke tahun 1960-an saat bangsa Indonesia dengan kebutuhan yang jauh lebih minim dari sekarang tapi tetap bisa bertahan hidup.
Zaman dulu orang mau saja naik sepeda menempuh jarak 5 km. "Contoh nyata, ibu saya. Waktu itu ibu pegawai kelas menengah dan ia bersepeda ke kantor berjarak 5 km dari rumah. Memang, zaman dulu alat transportasi masih jarang, tidak seperti sekarang. Tetapi zaman sekarang sudah langka orang yang mau bersepeda ke kantor, 'kan?” ujar Sembel.
Kalau kita kupas mengapa kini orang enggan bersepeda ke kantor, ada berbagai alasan. Misalnya saja, tidak nyaman, capek, keringatan, panas, kena debu, atau jaraknya jauh dari tempat tinggal. Saat ini untuk pergi ke kantor orang harus memiliki alat transportasi mobil, motor, atau minimal naik angkutan umum. “Kini orang sudah menganggap kebutuhan yang sekarang berlaku ini harus begitu adanya. Itu terjadi karena perkembangan atau pergeseran pemikiran. Padahal, kalau mau irit, bersepeda ke kantor tetap masih bisa dilakukan,” terang Sembel.
“Intinya, perlu ada pemikiran baru. Jangan berpikir apa yang sudah kita lakukan sekarang ini seharusnya memang sudah begitu dan merasa sudah sepantasnya. Padahal tidak demikian dan yang terpenting lagi kita bisa menyesuaikan diri atau beradaptasi dengan cepat,” paparnya.
Sembel memberi contoh pegawai yang tinggal di luar kota, tetapi bekerja di pusat kota. Untuk ongkos ke tempat kerja tentu saja perlu biaya besar. Bisa-bisa, separo atau malah lebih dari gajinya habis hanya untuk biaya transportasi. Mungkin perlu dipertimbangkan jika perbandingannya cukup signifikan antara pengeluaran yang besar untuk transportasi dibandingkan jika kita indekos di dalam kota.
Meskipun sewa kamar kos di dalam kota mahal, kita bisa berhemat dengan jalan kaki ke kantor dan makan siang di rumah. Kita perlu berpikir alternatif, mana yang bisa dilakukan. Apalagi dengan begitu kita bisa berhemat.

Berpikir kreatif
Sebelum memberikan tips selanjutnya, Sembel menegaskan bahwa yang namanya berhemat pasti tidak nikmat. Menurut dia, rasa tidak nikmat atau tidak enaknya berhemat karena hilangnya kenyamanan yang sudah biasa diterima. Namun, bagi Sembel berhemat itu tetap bisa terasa nikmat. Kuncinya, tergantung pada kreativitas kita saja.
Masih kata Sembel, untuk berhemat tapi tetap nikmat kita harus mengubah pola pikir lama dan berpikir kalau kita bisa menikmati kehematan itu. Misalnya, dulu kita naik mobil sendirian ke kantor sendiri. Dengan naiknya harga BBM sekarang, kita bisa beramai-ramai bersama tetangga yang searah menuju ke kantor. Namanya, car pooling alias mengompreng.
Saat berangkat ke kantor dengan satu mobil ini kita bisa mendapatkan beberapa manfaat. Pertama, bisa lebih menjalin keakraban dengan tetangga atau bisa juga bertambah teman. Daripada berangkat sendirian dengan mobil kosong; bengong sendirian terjebak kemacetan ditambah memikirkan biaya bensin yang dikeluarkan. Dengan mengompreng kita bisa mengurangi biaya untuk bahan bakar sekaligus bisa menolong orang lain yang kesulitan transportasi. Singkatnya, bisa sama-sama untung, gitu loh.
Selain berpikir kreatif, kita pun dituntut berpikir untuk jangka menengah dan jangka panjang. Tidak melulu memikirkan apa yang dihadapi di depan saja. Contohnya, pemakaian alat pemanas air. Kenapa tidak memakai alat yang bertenaga Matahari. Awalnya, memang terasa mahal, tetapi kalau dipikir jangka panjangnya, bisa malah jauh lebih murah biaya operasionalnya.
Nah, sekarang bagaimana berhemat jika berurusan dengan sembako? Dalam hal ini kita tentu tidak bisa berhemat dengan mengurangi jatah sembako. Bisa-bisa malah sakit yang berujung ke pengeluaran ekstra buat berobat. Sekali lagi Sembel mengingatkan untuk mengubah pola pikir dan berpikir kreatif mencari alternatif.
Misalkan, kita biasa belanja sembako di pasar A. Kita bisa membeli sembako lebih murah dengan cara patungan bersama 5 - 10 tetangga, misalnya. Cuma, membelinya tidak di Pasar A lagi, namun langsung ke sumbernya. Di pusat grosir, contohnya. Dengan membeli dalam jumlah banyak diharapkan, harganya bisa jatuh lebih murah dibandingkan dengan membeli secara eceran.

Kebutuhan atau keinginan
Sebelum mengakhiri obrolan, Sembel mewanti-wanti untuk tahan menghadapi godaan. Soalnya, inilah setan belang yang bisa bikin niat berhemat menguap lenyap. "Godaan terberat biasanya dari lingkungan terdekat serta lingkungan sekitar kita," kata Sembel.
Misalnya ada komentar, biasanya naik mobil, kok sekarang naik angkot? Gengsi dong! Tinggal kitanya memilih mau gengsi-gengsian sekarang atau berjuang untuk hasil yang akan diperoleh dan dinikmati di masa depan. Memang untuk berhemat butuh tekad, niat, mengubah pola pikir lama, dan membuat kebiasaan baru. Biasakan juga untuk membuat anggaran seperti yang dilakukan Yunika tadi.
Gerakan hidup hemat juga bisa diajarkan kepada anak-anak. Awalnya, mereka akan protes, namun dari pengalaman Sembel, anak-anak bisa juga kok diajak berhemat. Kuncinya justru berawal dari orangtua. Soalnya, anak-anak melihat teladan dari orangtua. "Tidak semua permintaan anak-anak langsung dipenuhi. Contoh kecil, seorang bapak melaksanakan hidup hemat dengan tidak merokok atau berhenti merokok. Si ibu yang tadinya hobi belanja dikurangi," kata Sembel. Dengan memberi contoh begitu, maka atmosfer berhemat pun dibentuk mulai dari keluarga.
Godaan lainnya adalah kartu kredit. Rasanya, kartu ini hampir pasti nyelip di dompet banyak orang. Apalagi sekarang banyak kartu kredit yang ditawarkan tanpa agunan. Tinggal gesek, urusan beres. “Banyak orang salah persepsi, mengganggap kartu kredit itu tambahan income atau pemasukan. Padahal itu utang,” ungkap Sembel.
Jangan sampai gara-gara utang kartu kredit, hidup kita menjadi tidak tenang karena kerap dikejar-kejar debt collector atau centeng. Membelanjakan barang yang tujuannya hanya untuk memenuhi kemauan bukan kebutuhan, ujung-ujungnya menjadi tidak karuan. Meski begitu, kartu kredit ada baiknya. Ia akan sangat berguna jika dalam kondisi darurat seperti saat sakit dan sedang tidak ada uang. Harapannya sih jangan sampai kita berada dalam posisi darurat.
Dari tadi kayaknya serius banget! Sekarang bolehlah santai sedikit, menikmati hidup yang semakin berat. "Menikmati hidup itu harus," ungkap Sembel. Cuma, tetap terkontrol dan uang untuk menikmati hidup itu masuk dalam anggaran entertainment yang sudah dipikirkan sebelumnya.
Jadi, siapa bilang berhemat tidak bisa nikmat!

boks
UTANG BAIK DAN UTANG TIDAK BAIK

Menurut Sembel, ngutang boleh-boleh saja asalkan memang membawa manfaat. Sembel menerangkan, ada dua jenis utang, yakni utang baik dan utang tidak baik. Maksud utang baik, jika utang itu diambil, akan mendatangkan pendapatan, entah sekarang atau di masa mendatang. Contohnya, utang untuk biaya sekolah. Kenapa? Dengan bersekolah kita memiliki kemampuan tambahan yang diharapkan dapat mendongkrak pendapatan.
Sedangkan utang yang tidak baik adalah utang yang hanya untuk memuaskan kebutuhan konsumtif kita. Sudah tidak mengembangkan aset yang kita punyai, utang seperti ini biasanya dikenai bunga yang tinggi. Sifat konsumtif ini juga patut diwaspadai saat berhubungan dengan sembako. Kata kuncinya, kebutuhan atau keinginan?
Contohnya, membeli beras. Perlukah membeli yang kualitas satu? Kalau membeli beras kualitas tiga atau dua yang lebih murah, apa tidak bisa? Belum tentu beras kualitas dua atau tiga tidak ada kelebihannya. Mungkin perlu alternatif cara memasaknya, misalkan perlu lebih banyak air sewaktu menanak agar nasinya menjadi lebih enak, misalnya.



Oleh: A. Bimo Wijoseno




Naiknya harga BBM 1 Oktober 2005 lalu jelas-jelas membuat hampir seluruh keluarga di Indonesia klenger. Mengeluh atau protes atas kebijakan sepihak pemerintah ini rasanya percuma saja. BBM tetap saja naik harganya. Kini saatnya bagaimana menyiasati keadaan yang serba sulit ini agar tidak menjadi semakin terbelit.
=====
Saat makan siang di warung bersama teman-teman sekantor, terdengar sebagian percakapan mereka.
"Huh, harga BBM naik gila-gilaan, tapi penghasilan masih tetep aja. Mau berhemat, apa yang mau dihemat. Semua harga kebutuhan lain juga sudah ikut-ikutan naik."
"Sudahlah enggak usah stres. Nikmati aja hidup ini dan always smile ... biar enggak stres,” timpal teman yang lain.
Waduh, setelah dipikir-pikir memang tidak mudah mengatur keuangan di saat sekarang. Kalau hanya senyum-senyum saja seperti kata teman tadi, apa malah tidak dibilang stres?
Melihat situasi dan kondisi saat ini memang saatnyalah sekarang hidup berhemat. Caranya? Tidak ada salahnya mengintip kondisi keuangan Yunika, sebut saja begitu, seorang guru matematika di sekolah swasta terkenal di Jakarta Pusat. Sebagai guru matematika, ia pun menyiasati pengeluarannya dengan mematematikakan penghasilannya.
“Memang kita harus pintar-pintar mencari celah penghematan. Dan yang terpenting, mencatat setiap pengeluaran meskipun hanya Rp 50,-. Ini untuk mengendalikan pengeluaran. Kemudian catatan ini direkap tiap bulan. Secara otomatis kita bisa berhemat,” paparnya.
Meskipun masih lajang, secara lengkap dan teratur Yunika merinci keuangannya demikian; setiap habis gajian ia menyediakan beberapa amplop dan memisahkan uangnya untuk masing-masing pos pengeluaran. Dari penghasilannya yang Rp 2,5 juta, untuk biaya transpor per bulan Rp 600.000,-, makan Rp 150.000,-, langganan majalah dan koran Rp 75.000,-, listrik, PAM, dan telepon Rp 250.000,-, cicilan KPR Rp 1,3 juta, biaya gas Rp 60.000,-. Masih ada sisa Rp 65.000,-. “Nah, sisanya ini ditabung. Lumayan, meski sedikit. Kuncinya, beli apa yang kita butuhkan, bukan yang kita inginkan,” ujarnya.
Apakah cara yang dilakukan Yunika itu tepat atau tidak, kita coba konfirmasi ke pakar ekonomi, Roy Sembel, Ph.D.

Mengubah pola pikir
Menurut Roy Sembel, definisi kebutuhan sehari-hari terus berkembang dari waktu ke waktu. Maksudnya, coba kita ingat kembali ke tahun 1960-an saat bangsa Indonesia dengan kebutuhan yang jauh lebih minim dari sekarang tapi tetap bisa bertahan hidup.
Zaman dulu orang mau saja naik sepeda menempuh jarak 5 km. "Contoh nyata, ibu saya. Waktu itu ibu pegawai kelas menengah dan ia bersepeda ke kantor berjarak 5 km dari rumah. Memang, zaman dulu alat transportasi masih jarang, tidak seperti sekarang. Tetapi zaman sekarang sudah langka orang yang mau bersepeda ke kantor, 'kan?” ujar Sembel.
Kalau kita kupas mengapa kini orang enggan bersepeda ke kantor, ada berbagai alasan. Misalnya saja, tidak nyaman, capek, keringatan, panas, kena debu, atau jaraknya jauh dari tempat tinggal. Saat ini untuk pergi ke kantor orang harus memiliki alat transportasi mobil, motor, atau minimal naik angkutan umum. “Kini orang sudah menganggap kebutuhan yang sekarang berlaku ini harus begitu adanya. Itu terjadi karena perkembangan atau pergeseran pemikiran. Padahal, kalau mau irit, bersepeda ke kantor tetap masih bisa dilakukan,” terang Sembel.
“Intinya, perlu ada pemikiran baru. Jangan berpikir apa yang sudah kita lakukan sekarang ini seharusnya memang sudah begitu dan merasa sudah sepantasnya. Padahal tidak demikian dan yang terpenting lagi kita bisa menyesuaikan diri atau beradaptasi dengan cepat,” paparnya.
Sembel memberi contoh pegawai yang tinggal di luar kota, tetapi bekerja di pusat kota. Untuk ongkos ke tempat kerja tentu saja perlu biaya besar. Bisa-bisa, separo atau malah lebih dari gajinya habis hanya untuk biaya transportasi. Mungkin perlu dipertimbangkan jika perbandingannya cukup signifikan antara pengeluaran yang besar untuk transportasi dibandingkan jika kita indekos di dalam kota.
Meskipun sewa kamar kos di dalam kota mahal, kita bisa berhemat dengan jalan kaki ke kantor dan makan siang di rumah. Kita perlu berpikir alternatif, mana yang bisa dilakukan. Apalagi dengan begitu kita bisa berhemat.

Berpikir kreatif
Sebelum memberikan tips selanjutnya, Sembel menegaskan bahwa yang namanya berhemat pasti tidak nikmat. Menurut dia, rasa tidak nikmat atau tidak enaknya berhemat karena hilangnya kenyamanan yang sudah biasa diterima. Namun, bagi Sembel berhemat itu tetap bisa terasa nikmat. Kuncinya, tergantung pada kreativitas kita saja.
Masih kata Sembel, untuk berhemat tapi tetap nikmat kita harus mengubah pola pikir lama dan berpikir kalau kita bisa menikmati kehematan itu. Misalnya, dulu kita naik mobil sendirian ke kantor sendiri. Dengan naiknya harga BBM sekarang, kita bisa beramai-ramai bersama tetangga yang searah menuju ke kantor. Namanya, car pooling alias mengompreng.
Saat berangkat ke kantor dengan satu mobil ini kita bisa mendapatkan beberapa manfaat. Pertama, bisa lebih menjalin keakraban dengan tetangga atau bisa juga bertambah teman. Daripada berangkat sendirian dengan mobil kosong; bengong sendirian terjebak kemacetan ditambah memikirkan biaya bensin yang dikeluarkan. Dengan mengompreng kita bisa mengurangi biaya untuk bahan bakar sekaligus bisa menolong orang lain yang kesulitan transportasi. Singkatnya, bisa sama-sama untung, gitu loh.
Selain berpikir kreatif, kita pun dituntut berpikir untuk jangka menengah dan jangka panjang. Tidak melulu memikirkan apa yang dihadapi di depan saja. Contohnya, pemakaian alat pemanas air. Kenapa tidak memakai alat yang bertenaga Matahari. Awalnya, memang terasa mahal, tetapi kalau dipikir jangka panjangnya, bisa malah jauh lebih murah biaya operasionalnya.
Nah, sekarang bagaimana berhemat jika berurusan dengan sembako? Dalam hal ini kita tentu tidak bisa berhemat dengan mengurangi jatah sembako. Bisa-bisa malah sakit yang berujung ke pengeluaran ekstra buat berobat. Sekali lagi Sembel mengingatkan untuk mengubah pola pikir dan berpikir kreatif mencari alternatif.
Misalkan, kita biasa belanja sembako di pasar A. Kita bisa membeli sembako lebih murah dengan cara patungan bersama 5 - 10 tetangga, misalnya. Cuma, membelinya tidak di Pasar A lagi, namun langsung ke sumbernya. Di pusat grosir, contohnya. Dengan membeli dalam jumlah banyak diharapkan, harganya bisa jatuh lebih murah dibandingkan dengan membeli secara eceran.

Kebutuhan atau keinginan
Sebelum mengakhiri obrolan, Sembel mewanti-wanti untuk tahan menghadapi godaan. Soalnya, inilah setan belang yang bisa bikin niat berhemat menguap lenyap. "Godaan terberat biasanya dari lingkungan terdekat serta lingkungan sekitar kita," kata Sembel.
Misalnya ada komentar, biasanya naik mobil, kok sekarang naik angkot? Gengsi dong! Tinggal kitanya memilih mau gengsi-gengsian sekarang atau berjuang untuk hasil yang akan diperoleh dan dinikmati di masa depan. Memang untuk berhemat butuh tekad, niat, mengubah pola pikir lama, dan membuat kebiasaan baru. Biasakan juga untuk membuat anggaran seperti yang dilakukan Yunika tadi.
Gerakan hidup hemat juga bisa diajarkan kepada anak-anak. Awalnya, mereka akan protes, namun dari pengalaman Sembel, anak-anak bisa juga kok diajak berhemat. Kuncinya justru berawal dari orangtua. Soalnya, anak-anak melihat teladan dari orangtua. "Tidak semua permintaan anak-anak langsung dipenuhi. Contoh kecil, seorang bapak melaksanakan hidup hemat dengan tidak merokok atau berhenti merokok. Si ibu yang tadinya hobi belanja dikurangi," kata Sembel. Dengan memberi contoh begitu, maka atmosfer berhemat pun dibentuk mulai dari keluarga.
Godaan lainnya adalah kartu kredit. Rasanya, kartu ini hampir pasti nyelip di dompet banyak orang. Apalagi sekarang banyak kartu kredit yang ditawarkan tanpa agunan. Tinggal gesek, urusan beres. “Banyak orang salah persepsi, mengganggap kartu kredit itu tambahan income atau pemasukan. Padahal itu utang,” ungkap Sembel.
Jangan sampai gara-gara utang kartu kredit, hidup kita menjadi tidak tenang karena kerap dikejar-kejar debt collector atau centeng. Membelanjakan barang yang tujuannya hanya untuk memenuhi kemauan bukan kebutuhan, ujung-ujungnya menjadi tidak karuan. Meski begitu, kartu kredit ada baiknya. Ia akan sangat berguna jika dalam kondisi darurat seperti saat sakit dan sedang tidak ada uang. Harapannya sih jangan sampai kita berada dalam posisi darurat.
Dari tadi kayaknya serius banget! Sekarang bolehlah santai sedikit, menikmati hidup yang semakin berat. "Menikmati hidup itu harus," ungkap Sembel. Cuma, tetap terkontrol dan uang untuk menikmati hidup itu masuk dalam anggaran entertainment yang sudah dipikirkan sebelumnya.
Jadi, siapa bilang berhemat tidak bisa nikmat!

boks
UTANG BAIK DAN UTANG TIDAK BAIK

Menurut Sembel, ngutang boleh-boleh saja asalkan memang membawa manfaat. Sembel menerangkan, ada dua jenis utang, yakni utang baik dan utang tidak baik. Maksud utang baik, jika utang itu diambil, akan mendatangkan pendapatan, entah sekarang atau di masa mendatang. Contohnya, utang untuk biaya sekolah. Kenapa? Dengan bersekolah kita memiliki kemampuan tambahan yang diharapkan dapat mendongkrak pendapatan.
Sedangkan utang yang tidak baik adalah utang yang hanya untuk memuaskan kebutuhan konsumtif kita. Sudah tidak mengembangkan aset yang kita punyai, utang seperti ini biasanya dikenai bunga yang tinggi. Sifat konsumtif ini juga patut diwaspadai saat berhubungan dengan sembako. Kata kuncinya, kebutuhan atau keinginan?
Contohnya, membeli beras. Perlukah membeli yang kualitas satu? Kalau membeli beras kualitas tiga atau dua yang lebih murah, apa tidak bisa? Belum tentu beras kualitas dua atau tiga tidak ada kelebihannya. Mungkin perlu alternatif cara memasaknya, misalkan perlu lebih banyak air sewaktu menanak agar nasinya menjadi lebih enak, misalnya.


No comments: