Wednesday, February 28, 2007

Bermalam di Menara 288 Meter




4 Hari Bermalam di Menara 288 Meter
Oleh: A. Bimo Wijoseno



Pekerjaan panjat-memanjat gedung atau bangunan tinggi bagi beberapa orang bukan pekerjaan sulit dan bikin nyali ciut. Meski terlihat mudah dan sederhana pekerjaan itu, nyawa taruhannya. Hilang konsentrasi sedetik saja bisa-bisa nyawa berpindah tempat.
=====
Jangan tantang Rijady Bidjanantho (39) untuk adu memanjat pohon atau menara pemancar televisi. Menara setinggi 288 m (setara bangunan bertingkat 90-an) ditaklukkannya hanya dalam waktu 30 menit!
Andy, begitu bapak lima anak ini disapa, memang bekerja sebagai teknisi pemancar stasiun televisi swasta pertama di Indonesia, RCTI. Sudah tak terhitung berapa kali ia naik- turun menara setinggi itu, yang berdiri menancap langit di kawasan Kebojeruk, Jakarta Barat. Bahkan ia pernah menginap di atas menara selama selama empat hari tiga malam.
Jelas, ia bermalam di atas sana bukan untuk leha-leha santai atau lari dari persoalan duniawi. Kala itu ia harus segera membetulkan kerusakan antena dalam waktu singkat. Sebab, kalau antena pemancarnya rusak, RCTI tidak bisa siaran. “Saya memutuskan untuk menginap, supaya cepat selesai. Daripada harus naik-turun tower, (dengan menginap) lebih hemat waktu dan tenaga,” ujar Andy.

Kebanyakan stasiun teve
Berbeda dengan menara pemancar TVRI yang berupa gedung dan dilengkapi lift untuk sampai ke puncak, menara antena pemancar RCTI berupa struktur palang besi tinggi menjulang seperti tiang listrik tegangan tinggi. Untuk menuju ke atas tidak tersedia lift, sehingga harus menapaki tangga satu demi satu. Jika jarak antaranak tangga 30 cm, maka jumlah anak tangganya ada sekitar 950-an biji.
"Saya di sana tidur di atas bordes (pijakan tempat istirahat - Red.) yang ngepas untuk tidur. Ukurannya kira-kira satu kali dua meteran,” ujar Andi ketika ditanya pengalamannya menginap di "hotel di atas angin" kala itu.
Keputusan bermalam waktu itu sebenarnya di luar rencana. "Bos saya juga tidak menyuruh saya menginap. Masalahnya, ada delapan distributor (alat yang tersambung ke beberapa pemancar/transmitter - Red.) yang terbakar. Distributor itu harus segera diganti. Saya harus menggantinya satu per satu. Bautnya banyak sekali."
Entah kebetulan atau tidak, kerusakan itu terjadi menjelang hari jadi ke-14 RCTI tahun 2002. Rusaknya distributor diketahui awal Agustus, padahal acara perayaan ulang tahunnya tanggal 24 Agustus. Repotnya, distributor tadi harus diimpor, sehingga tidak bisa segera dipasang. Menjelang hari ulang tahun, baru distributor itu datang. “Sebelum hari H harus sudah rampung,” tandas Andy.
Omong-omong, mengapa dan bagaimana distributor bisa terbakar? Menurut Andy, di menara itu ada beberapa pemancar seperti untuk RCTI, SCTV, Metro TV, dan Global TV. Sinyal-sinyal yang keluar dari pemancar tadi sama-sama kuat sehingga saling bertabrakan. Akibatnya, distributor menjadi panas dan lama-kelamaan terbakar. Kalau alat itu rusak, otomatis tidak ada acara yang bisa disiarkan.
Sebenarnya, pihak RCTI memiliki antena cadangan setinggi 180 m. Namun, dengan antena yang lebih pendek seperti itu, jangkaunan siarannya terbatas dan hasil pancaran kurang bagus. Gambar yang sampai di pesawat televisi pemirsa kepyur-kepyur banyak "semut"-nya.
Entah energi dari mana yang membuat Andy bisa kuat bertahan selama empat hari tiga malam di atas menara. “Saya sendiri juga heran kok, Mas,” ucap Andy tersenyum. Memang, setelah turun capeknya baru terasa. Untuk membayar utang kelelahannya Andy mengambil cuti selama seminggu sampai merasa pulih dan bugar sebelum kembali bekerja.

Punya nyawa cadangan
Pekerjaan yang termasuk menantang bahaya ini butuh persiapan yang cukup. Sebelum memanjat, ada beberapa hal yang harus dilakukan. Selain siap secara fisik dan mental, peralatan keselamatan juga tak lepas dari perhatian. Sebelum naik, Andy memakai werpak, tali pengaman, dan membawa radio komunikasi. Tak lupa sepatu antilicin dan peralatan grounding agar tidak terkena setrum.
Soal tali pengaman, Andy tidak main-main ketika memeriksanya. "Ibaratnya, (tali pengaman itu) nyawa kedua,” ucapnya. Tak lupa ia membawa bekal makanan dan minuman serta minta berkat dari Tuhan untuk menjagainya selama menjalankan tugas.
Sebisa mungkin Andy naik menara saat tidak digunakan atau sedang tidak operasional. Sebab, ketika antena berfungsi, ia memancarkan gelombang elektromagnet yang besar. Saking kuatnya, pancaran gelombang ini bisa dirasakan lewat pancaindera kita. "Di kulit seperti terasa digigit semut, clekit-clekit," ia menggambarkan. Jika tidak kuat menahan rasa clekit-clekit, bisa-bisa konsentrasi buyar sehingga malah bisa jatuh. Efek lain dari medan magnet ini, kalau terus-menerus terpajan, bisa membuat pria mandul. Untung Andy sudah punya anak. Berarti ia tidak mandul 'kan?
Cuaca juga patut diperhatikan. Dalam kondisi normal saja udara di atas sana tidak sesejuk di bawah; terasa kering dan sengatan Matahari begitu nyelekit, bikin kulit cepat hitam. Kalau sadang tutun hujan, sebaiknya tidak naik menara. Sebab, bisa tersambar petir atau terpeleset karena licin meski sudah bersepatu antilicin.
"Tapi saya pernah nekad (naik menara) walaupun sedang hujan disertai angin dan badai. Waktu itu saya nekad karena tugas yang diberikan harus selesai cepat dalam waktu tiga hari. Ketika itu saya membetulkan antena di Bukittinggi (Sumatera Barat), dan besi-besi antenanya banyak yang terlepas. Padahal, teman-teman sudah memanggil-manggil saya untuk turun.”
Namun, saat itu Andy tetap bekerja. Ia yakin, dengan safety belt yang dikenakannya, walaupun sempat khawatir juga karena kabut sudah menyelimuti tubuhnya. "Sepertinya, saya sedang berada di atas awan. Untungnya, hawa dingin bisa ditangkal karena saya sudah siap memakai jaket tebal dan tahan air. Hujannya lebat dan angin cukup kencang karena lokasinya di daerah pegunungan. Begitu pekerjaan selesai, saya langsung turun."
Dalam situasi seperti itu, Andy dituntut untuk tetap tenang. Ia menambahkan, "Untuk naik antena harus siap (mental)." Dalam arti, kalau tidak yakin betul, ia mengurungkan niatnya. Sebab, kalau tetap ragu dan nekad naik, bisa membahayakan diri. Begitu juga jika sedang punya masalah, harus ia lupakan dulu.
"Kita mesti konsentrasi. Kalau konsentrasi terganggu sedikit saja, saya akan berhenti sebentar. Saya tidak mau mati konyol. Terpeleset sedikit saja bisa fatal akibatnya. Pernah teman saya jatuh terpeleset, untung saja terikat tali pengaman, tapi ia mengalami cidera di kakinya. Karena itu kita harus paham betul kemampuan kita sampai seberapa."

Tidak ngoyo
Pekerjaan yang dilakukan dengan senang hati akan memberikan kekuatan dalam melakukan pekerjaan tersebut. Hal ini dirasakan betul oleh Andy. Tugas yang menantang maut itu tidak dia anggap sebagai beban. "Saya tidak pernah (begitu merasa) capek, terus langsung turun. Paling istirahat sebentar, kemudian dilanjutkan lagi, walaupun saya tetap tidak memaksakan diri. Kalau saat itu kuatnya naik 10 meter saja ya saya jalani, kemudian berhenti," ujar Andy sambil membeberkan pengalaman, pada 100 m pertama memang terasa berat karena melawan gravitasi. Selebihnya, terasa enteng saja saat memanjat.
Justru karena tidak ngoyo (memaksa diri) itulah Andy kuat bermalam di atas menara. Padahal, tantangannya tergolong berat. Selain tetap waspada berada di ketinggian, kelelahan dan emosi perlu diantisipasi. "Kelelahan membuat saya juga mudah emosi. Teman-teman satu tim dari kantor yang berjumlah lima orang memutuskan untuk istirahat. Saya kemudian dibantu tenaga teknisi dari pihak luar. Mungkin karena mereka juga sudah kelelahan, pekerjaannya dilakukan agak sembarangan. Memasang baut-baut dan sambungan asal selesai cepat.
"Saya tidak terima. Kalau kerjanya tidak sempurna, bukannya menjadi lebih baik, tapi malah jadi tambah kacau atau meluas kerusakannya. Toh saya tidak boleh emosi berlarut-larut. Bisa-bisa pekerjaan malah jadi tidak selesai. Lantas saya bongkar lagi, saya kerjakan sendiri nonstop semampu saya," kisahnya.
Untunglah tugas itu selesai. Sehari sebelum turun, setelah diperbaiki, antena pemancar diuji coba sekitar pukul 04.00. Saat uji coba Andy menyempatkan diri tidur sejenak. Rasanya nyenyak sekali. Saat terbangun, ia mengecek kembali pekerjaannya. Begitu dirasa sudah beres, ia pun langsung turun.
Untunglah, sampai saat ini Andy tidak pernah mengalami kecelakaan dalam bekerja. Bisa jadi karena ia sudah terbiasa memanjat sejak kecil. Semasa kecil dulu Andy tinggal di kawasan Condet, Jakarta Timur, yang dekat dengan Lapangan Udara Halim Perdanakusuma. Ia suka memanjat pohon kecapi yang tertinggi hanya untuk melihat roda pesawat terbang yang mau mendarat atau mengudara. “Saya lihat rasanya pesawat itu dekat sekali,” kenangnya.
Kini, hobinya memanjat itu menjadi tumpuan hidup diri dan keluarganya.

boks
KENCING DI BOTOL

Pertanyaan usil berkaitan dengan menginapnya Andy selama empat hari tiga malam di atas menara tentu bagaimana ia menuntaskan hajatnya. "Oh, saya bisa tahan tidak buang air besar sampai dua hari. Tapi kalau tidak bisa tahan kencing, saya tampung di botol bekas kemasan air mineral saja,” ujarnya sembari senyum-senyum.
Berkaitan dengan logistik, ia mengandalkan pasokan makanan berat dan air minum dari bawah yang diantarkan naik oleh temannya. Begitu juga dengan pakaian ganti atau suku cadang yang kurang. Terpaksa begitu sebab jika menggunakan kerekan untuk menaikkan barang-barang itu, tidak praktis. Selain butuh waktu untuk memasang tali, sulit mencari tali yang panjangnya sampai 300 m.
Selain itu Andy juga berbekal makanan ringan atau mi cepat saji kesukaannya. "Mi instan langsung saya makan mentah-mentah, tidak saya masak. Saya lebih suka begitu karena seperti kerupuk,” ungkap suami dari Darti Rukayah ini sembari tertawa.

1 comment:

danartik@yahoo.com said...

Rijadi sejak SMP memang dikenal edan..hehehe..
Tapi dia orang yang serius dan disiplin,.
Pantes jadi ketua kelas melulu..
hehehe..
Saat kita haha..hihi.. eh, dia serius terus,..hahaha

Danartika