Tuesday, February 27, 2007

Mertua galak


Wah, Mertuaku Galak Lo!
Oleh: A. Bimo Wijoseno




Hubungan menantu perempuan dengan mertua perempuannya kerap digambarkan bak kawasan kaya konflik dan intrik. Meski sejatinya, tak ada calon menantu yang sejak awal berniat
"makar" terhadap calon mertua. Atau sebaliknya, calon mertua merencanakan perang dengan calon istri anaknya. Namun, benang kusut pertentangan internal ini bukan tidak mungkin diurai.
=====
"Konflik antara menantu perempuan dan mertua perempuannya bukanlah bawaan sejak lahir," tegas Dewi Matindas, psikolog, membuka uraian soal "perseteruan" yang satu ini. Konflik ini timbul sebagai buah persepsi atau anggapan masing-masing pihak, yang diperkuat orang lain di lingkungannya.
Padahal, persepsi itu hasil kesimpulan atau penilaian yang belum tentu betul. Namanya saja persepsi, tentu tak lepas dari subjektivitas, pengalaman, dan kecenderungan tiap individu. Sialnya, anggapan tadi kadang disamaratakan, sehingga menjadi stereotipe.
Jika seorang menantu atau mertua terlalu berpegang teguh pada stereotipe, dampaknya bakal sangat buruk. "Persiapan perang" pun menjadi sangat berlebihan. Seorang calon menantu, misalnya, bisa saja merasakan jantungnya berdebar-debar kencang (bahkan nyaris copot) saat diperkenalkan dengan calon mertua. Ada perasaan cemas dan takut yang menggayut.
Di pihak calon ibu mertua, peneropongan pun tak kalah berlebihan. Kesimpulan akhirnya bisa saja menjadi sangat ekstrem, seperti menganggap calon menantunya tidak becus, tidak layak atau tidak pas menjadi istri anaknya. Sikap berlebihan ibu mertua itu, menurut Dewi, karena yang bersangkutan merasa sebagai orang yang telah melahirkan, membesarkan, merawat, dan mendidik anak laki-lakinya.
Si ibu kenal betul kelemahan dan kelebihan anaknya. Dia juga punya harapan tertentu pada anaknya, yang kadang terucap, kadang tidak. Kalau anak laki-lakinya mulai berhubungan dekat dengan "perempuan lain", muncul perasaan tersaingi. Timbul juga rasa takut kehilangan, atau takut adanya perubahan sikap si anak yang tidak sesuai dengan nilai-nilai yang sebelumnya ingin ditanamkan.
Tak heran banyak ibu akhirnya bersikap sangat protektif terhadap anak lelakinya. Menantu pun dengan gampang menyimpulkan, "Mertuaku galak lo!" Soalnya, dalam praktik sehari-hari, ibu tersayang kerap mengecek apakah menantunya telah merawat dan memberi perhatian pada anaknya dengan baik. Sang ibu berharap, langkahnya selama ini diteruskan atau diikuti menantunya, kalau mungkin dengan cara yang sama persis. Padahal, menantunya adalah manusia lain dengan pribadi berbeda pula.

Dua nahkoda
Ada baiknya kedua belah pihak yang berseteru memahami posisi dan perannya masing-masing dalam keluarga. Apalagi kalau menantu perempuan tinggal di "Pondok Mertua Indah". Ia harus sadar betul kalau posisinya "lebih rendah" dari mertua. Sebagai pendatang baru, dia tidak bisa langsung merenggut seluruh perhatian dan cinta suaminya. Dia juga perlu mempelajari mertuanya, misalnya tentang hal-hal apa saja atau peran apa yang masih tetap ingin dimiliki atau dipertahankan mertoku.
Cari tahu semua itu lewat dialog. Faktanya, si menantu memang tidak bisa dan tidak mungkin mencabut tali kasih ibu dengan anak lelakinya secara total. Jika dialog tidak bisa sering dilakukan, misalnya karena tidak tinggal serumah, ajaklah suami menemui ibu kandungnya secara berkala. Ajakan sebaiknya memang datang dari pihak istri, agar ibu mertua tahu kalau menantunya sungguh-sungguh memiliki perhatian.
Tidak hanya menantu, mertua pun perlu diberi kesadaran tentang posisinya. Dalam benak si ibu perlu ditanamkan juga bahwa perempuan yang baru saja berstatus sebagai menantunya masih harus banyak belajar untuk menjadi istri yang baik. Karena masih dalam taraf "belajar" itulah, wajar kalau ada banyak hal yang belum dipahaminya. Berilah menantu kesempatan untuk belajar dan terus belajar.
Ibu mertua dituntut memiliki kesabaran lebih, dan yang paling penting, perlu banyak menahan diri untuk tidak ikut campur tangan dalam urusan keluarga yang baru terbentuk. Kalau masih sebatas sumbang saran sih tidak dilarang. Dalam kesempatan berdialog dengan menantu pun, topiknya sebaiknya dibatasi, agar tidak terkesan terlalu menggurui atau mencampuri urusan pribadi mereka.
Ada juga mertua dan menantu yang langsung akur begitu bertemu. "Banyak menantu bahkan akhirnya sangat tergantung pada ibu mertua. Mereka memanfaatkan mertuanya untuk melayani suami, anak, sampai urusan rumah tangga sehari-hari," ungkap Dewi. Kelihatannya, hubungan jenis ini tak bermasalah. Namun, tanpa disadari, justru membawa dampak negatif lain, yakni keluarga baru itu tidak akan cepat dewasa dan mandiri.
Berdasarkan pengalaman, konflik ibu mertua dan menantu kerap terpicu jika keduanya lebih sering berada di dalam rumah. "Secara psikologis, dua perempuan yang mempunyai peran yang sama, sebagai ibu rumah tangga dalam satu rumah, akan sulit menghindari konflik. Ibarat kapal, ada dua nahkoda. Masing-masing merasa punya kekuatan dan peran," tutur Dewi.
Untuk menghindari konflik, salah satu pihak biasanya berusaha mengalah. Padahal, "Jika mengalah dengan menekan diri secara terpaksa, menahan perasaan sehingga dirinya tertekan, justru kurang baik. Bisa merusak batin," tegas Dewi Matindas. Lambat laun, kekesalannya akan meluber dengan "memusuhi" suami. Kalau mau mengalah, ikuti dengan sikap menerima kenyataan. Cara ini bisa membuat seseorang menjadi lebih dewasa.

Perlu kepribadian matang
Perbedaan sifat, sikap, tingkah-laku, serta harapan ibu mertua dengan menantunya memang berpotensi konflik. Tapi percayalah, konflik yang muncul itu bisa diredam. Bukan dengan menyamakan persepsi dua pribadi yang dari sononya sudah beda, tetapi dengan saling membuka diri dan menerima kenyataan. Misalnya, kenyataan bahwa mengubah diri sendiri akan lebih efektif daripada mengubah orang lain.
"Faktanya, 'kan tidak semua mertua jahat dan galak," ungkap Dewi Matindas. Apalagi kaum hawa sekarang punya pendidikan dan wawasan yang jauh lebih bagus. Dengan bekal itu, mereka tidak lagi mudah dipengaruhi berbagai stereotipe. Pun kebanyakan mertua dan menantu sekarang tidak hanya berperan sebagai ibu rumah tangga, tapi juga pekerja, sehingga diyakini lebih mudah membuka diri.
Meski begitu, tak bisa dipungkiri, masih ada juga menantu dan ibu-ibu mertua yang percaya pada stereotipe lawas. Pada menantu dan mertua jenis terakhir ini, tak ada jalan lain, stereotipe yang mengganggu itu harus dimusnahkan dulu. Karena tak akan ada hubungan harmonis dan keterbukaan, jika stereotipe itu masih bersemayam di hati masing-masing.
Adat istiadat (bukan suku) juga turut mempengaruhi hubungan menantu dan mertua. Setiap keluarga dan komunitas biasanya mempunyai nilai-nilai yang ditanamkan sejak kecil. Contohnya, seorang anak yang dibesarkan di tengah keluarga berlatar belakang guru, punya nilai-nilai berbeda dengan anak yang dibesarkan dalam keluarga berlatar belakang pedagang.
Kepribadian yang matang sangat diperlukan untuk menyikapi perbedaan nilai-nilai tersebut. Ketika memutuskan menikahi pria pujaannya, seorang perempuan tak hanya dituntut memahami pasangannya saja. Tapi juga berani "menikahi" keluarga besar calon suaminya. Makanya, kalau tidak siap mental, sebaiknya jangan buru-buru menikah. Modal umur dan duit seabrek buat biaya pesta saja belum cukup.
Omong-omong, kok para laki-laki sepertinya enggak pernah punya masalah dengan para mertua? Menurut Dewi, itu karena mereka lebih sering berada di luar rumah dan tidak "mengurusi dapur" secara langsung. Konflik biasanya timbul berkaitan dengan tanggung jawabnya sebagai kepala rumah tangga. Jika suami tidak mampu menunjukkan tanggung jawab, dalam hal memberi nafkah contohnya, barulah meletus persoalan.

Ambil sisi positif
Buat yang terpaksa (bermukim sementara atau selamanya) di "Pondok Mertua Indah" tak ada alasan berduka. Apalagi menyesali nasib sepanjang umur. Yang perlu dimanfaatkan, ambil dan pelihara sisi positifnya dan buang jauh-jauh sisi negatifnya.
Sisi positif yang bisa diambil, "keluarga baru" hasil kolaborasi anak dan menantu itu bisa belajar membina keluarga dengan baik dan benar dari mertuanya. Juga tersedia keuntungan fisik (sudah ada tempat menetap), sosial (hangatnya keluarga besar dan keamanan), dan finansial (tak perlu bayar rumah kontrakan) lantaran masih bisa nebeng fasilitas orangtua.
Sedangkan dampak negatifnya, tidak bisa cepat belajar mandiri. Padahal, membangun sebuah rumah tangga mestinya menjadi tanda kemandirian. Orangtua sangat berperan agar keluarga baru ini bisa cepat mandiri. Kalau mereka dirasa sudah siap secara fisik, mental, dan finansial, segera saja lepaskan dari rumah induk. Kalau perlu didorong. Bantulah seperlunya dan jangan terlalu melindungi.
Jika orangtua terlalu khawatir, si anak pun akan ikut mengkhawatirkan dirinya, khawatir tidak bisa menjalankan sebuah rumah tangga. Apalagi, "Penguasaan keterampilan berkeluarga di zaman ini tidak lagi menjadi hal penting yang harus dipelajari. Contoh sederhana, banyak pasangan muda yang tidak lagi merasa perlu menguasai pengenalan bumbu masak sampai cara mengasuh bayi."
"Kalau dulu, tidak tahu satu macam bumbu masak saja bisa celaka. Sekarang sih aman, toh ada banyak restoran dan makanan siap saji yang gampang didapat," ujar Dewi Matindas. Dengan kata lain, apa yang menjadi hal penting dalam persiapan berkeluarga, kini mulai berubah. Dulu, persiapan berkeluarga lebih menekankan pada keterampilan mengurusi seluk-beluk rumah tangga. Sekarang keterampilan itu dikalahkan, salah satunya barangkali oleh keterampilan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi.
Biar tidak ketinggalan zaman, hal-hal seperti itu kudu juga diketahui para menantu perempuan dan ibu mertuanya, supaya kelak tidak ada lagi konflik di antara mereka.

powered by performancing firefox

No comments: