Wednesday, February 28, 2007

Bisa Nikmat, Asalkan ....


Hemat Bisa Nikmat, Asalkan ....
Oleh: A. Bimo Wijoseno


Penulis: A. Bimo Wijoseno

Naiknya harga BBM 1 Oktober 2005 lalu jelas-jelas membuat hampir seluruh keluarga di Indonesia klenger. Mengeluh atau protes atas kebijakan sepihak pemerintah ini rasanya percuma saja. BBM tetap saja naik harganya. Kini saatnya bagaimana menyiasati keadaan yang serba sulit ini agar tidak menjadi semakin terbelit.
=====
Saat makan siang di warung bersama teman-teman sekantor, terdengar sebagian percakapan mereka.
"Huh, harga BBM naik gila-gilaan, tapi penghasilan masih tetep aja. Mau berhemat, apa yang mau dihemat. Semua harga kebutuhan lain juga sudah ikut-ikutan naik."
"Sudahlah enggak usah stres. Nikmati aja hidup ini dan always smile ... biar enggak stres,” timpal teman yang lain.
Waduh, setelah dipikir-pikir memang tidak mudah mengatur keuangan di saat sekarang. Kalau hanya senyum-senyum saja seperti kata teman tadi, apa malah tidak dibilang stres?
Melihat situasi dan kondisi saat ini memang saatnyalah sekarang hidup berhemat. Caranya? Tidak ada salahnya mengintip kondisi keuangan Yunika, sebut saja begitu, seorang guru matematika di sekolah swasta terkenal di Jakarta Pusat. Sebagai guru matematika, ia pun menyiasati pengeluarannya dengan mematematikakan penghasilannya.
“Memang kita harus pintar-pintar mencari celah penghematan. Dan yang terpenting, mencatat setiap pengeluaran meskipun hanya Rp 50,-. Ini untuk mengendalikan pengeluaran. Kemudian catatan ini direkap tiap bulan. Secara otomatis kita bisa berhemat,” paparnya.
Meskipun masih lajang, secara lengkap dan teratur Yunika merinci keuangannya demikian; setiap habis gajian ia menyediakan beberapa amplop dan memisahkan uangnya untuk masing-masing pos pengeluaran. Dari penghasilannya yang Rp 2,5 juta, untuk biaya transpor per bulan Rp 600.000,-, makan Rp 150.000,-, langganan majalah dan koran Rp 75.000,-, listrik, PAM, dan telepon Rp 250.000,-, cicilan KPR Rp 1,3 juta, biaya gas Rp 60.000,-. Masih ada sisa Rp 65.000,-. “Nah, sisanya ini ditabung. Lumayan, meski sedikit. Kuncinya, beli apa yang kita butuhkan, bukan yang kita inginkan,” ujarnya.
Apakah cara yang dilakukan Yunika itu tepat atau tidak, kita coba konfirmasi ke pakar ekonomi, Roy Sembel, Ph.D.

Mengubah pola pikir
Menurut Roy Sembel, definisi kebutuhan sehari-hari terus berkembang dari waktu ke waktu. Maksudnya, coba kita ingat kembali ke tahun 1960-an saat bangsa Indonesia dengan kebutuhan yang jauh lebih minim dari sekarang tapi tetap bisa bertahan hidup.
Zaman dulu orang mau saja naik sepeda menempuh jarak 5 km. "Contoh nyata, ibu saya. Waktu itu ibu pegawai kelas menengah dan ia bersepeda ke kantor berjarak 5 km dari rumah. Memang, zaman dulu alat transportasi masih jarang, tidak seperti sekarang. Tetapi zaman sekarang sudah langka orang yang mau bersepeda ke kantor, 'kan?” ujar Sembel.
Kalau kita kupas mengapa kini orang enggan bersepeda ke kantor, ada berbagai alasan. Misalnya saja, tidak nyaman, capek, keringatan, panas, kena debu, atau jaraknya jauh dari tempat tinggal. Saat ini untuk pergi ke kantor orang harus memiliki alat transportasi mobil, motor, atau minimal naik angkutan umum. “Kini orang sudah menganggap kebutuhan yang sekarang berlaku ini harus begitu adanya. Itu terjadi karena perkembangan atau pergeseran pemikiran. Padahal, kalau mau irit, bersepeda ke kantor tetap masih bisa dilakukan,” terang Sembel.
“Intinya, perlu ada pemikiran baru. Jangan berpikir apa yang sudah kita lakukan sekarang ini seharusnya memang sudah begitu dan merasa sudah sepantasnya. Padahal tidak demikian dan yang terpenting lagi kita bisa menyesuaikan diri atau beradaptasi dengan cepat,” paparnya.
Sembel memberi contoh pegawai yang tinggal di luar kota, tetapi bekerja di pusat kota. Untuk ongkos ke tempat kerja tentu saja perlu biaya besar. Bisa-bisa, separo atau malah lebih dari gajinya habis hanya untuk biaya transportasi. Mungkin perlu dipertimbangkan jika perbandingannya cukup signifikan antara pengeluaran yang besar untuk transportasi dibandingkan jika kita indekos di dalam kota.
Meskipun sewa kamar kos di dalam kota mahal, kita bisa berhemat dengan jalan kaki ke kantor dan makan siang di rumah. Kita perlu berpikir alternatif, mana yang bisa dilakukan. Apalagi dengan begitu kita bisa berhemat.

Berpikir kreatif
Sebelum memberikan tips selanjutnya, Sembel menegaskan bahwa yang namanya berhemat pasti tidak nikmat. Menurut dia, rasa tidak nikmat atau tidak enaknya berhemat karena hilangnya kenyamanan yang sudah biasa diterima. Namun, bagi Sembel berhemat itu tetap bisa terasa nikmat. Kuncinya, tergantung pada kreativitas kita saja.
Masih kata Sembel, untuk berhemat tapi tetap nikmat kita harus mengubah pola pikir lama dan berpikir kalau kita bisa menikmati kehematan itu. Misalnya, dulu kita naik mobil sendirian ke kantor sendiri. Dengan naiknya harga BBM sekarang, kita bisa beramai-ramai bersama tetangga yang searah menuju ke kantor. Namanya, car pooling alias mengompreng.
Saat berangkat ke kantor dengan satu mobil ini kita bisa mendapatkan beberapa manfaat. Pertama, bisa lebih menjalin keakraban dengan tetangga atau bisa juga bertambah teman. Daripada berangkat sendirian dengan mobil kosong; bengong sendirian terjebak kemacetan ditambah memikirkan biaya bensin yang dikeluarkan. Dengan mengompreng kita bisa mengurangi biaya untuk bahan bakar sekaligus bisa menolong orang lain yang kesulitan transportasi. Singkatnya, bisa sama-sama untung, gitu loh.
Selain berpikir kreatif, kita pun dituntut berpikir untuk jangka menengah dan jangka panjang. Tidak melulu memikirkan apa yang dihadapi di depan saja. Contohnya, pemakaian alat pemanas air. Kenapa tidak memakai alat yang bertenaga Matahari. Awalnya, memang terasa mahal, tetapi kalau dipikir jangka panjangnya, bisa malah jauh lebih murah biaya operasionalnya.
Nah, sekarang bagaimana berhemat jika berurusan dengan sembako? Dalam hal ini kita tentu tidak bisa berhemat dengan mengurangi jatah sembako. Bisa-bisa malah sakit yang berujung ke pengeluaran ekstra buat berobat. Sekali lagi Sembel mengingatkan untuk mengubah pola pikir dan berpikir kreatif mencari alternatif.
Misalkan, kita biasa belanja sembako di pasar A. Kita bisa membeli sembako lebih murah dengan cara patungan bersama 5 - 10 tetangga, misalnya. Cuma, membelinya tidak di Pasar A lagi, namun langsung ke sumbernya. Di pusat grosir, contohnya. Dengan membeli dalam jumlah banyak diharapkan, harganya bisa jatuh lebih murah dibandingkan dengan membeli secara eceran.

Kebutuhan atau keinginan
Sebelum mengakhiri obrolan, Sembel mewanti-wanti untuk tahan menghadapi godaan. Soalnya, inilah setan belang yang bisa bikin niat berhemat menguap lenyap. "Godaan terberat biasanya dari lingkungan terdekat serta lingkungan sekitar kita," kata Sembel.
Misalnya ada komentar, biasanya naik mobil, kok sekarang naik angkot? Gengsi dong! Tinggal kitanya memilih mau gengsi-gengsian sekarang atau berjuang untuk hasil yang akan diperoleh dan dinikmati di masa depan. Memang untuk berhemat butuh tekad, niat, mengubah pola pikir lama, dan membuat kebiasaan baru. Biasakan juga untuk membuat anggaran seperti yang dilakukan Yunika tadi.
Gerakan hidup hemat juga bisa diajarkan kepada anak-anak. Awalnya, mereka akan protes, namun dari pengalaman Sembel, anak-anak bisa juga kok diajak berhemat. Kuncinya justru berawal dari orangtua. Soalnya, anak-anak melihat teladan dari orangtua. "Tidak semua permintaan anak-anak langsung dipenuhi. Contoh kecil, seorang bapak melaksanakan hidup hemat dengan tidak merokok atau berhenti merokok. Si ibu yang tadinya hobi belanja dikurangi," kata Sembel. Dengan memberi contoh begitu, maka atmosfer berhemat pun dibentuk mulai dari keluarga.
Godaan lainnya adalah kartu kredit. Rasanya, kartu ini hampir pasti nyelip di dompet banyak orang. Apalagi sekarang banyak kartu kredit yang ditawarkan tanpa agunan. Tinggal gesek, urusan beres. “Banyak orang salah persepsi, mengganggap kartu kredit itu tambahan income atau pemasukan. Padahal itu utang,” ungkap Sembel.
Jangan sampai gara-gara utang kartu kredit, hidup kita menjadi tidak tenang karena kerap dikejar-kejar debt collector atau centeng. Membelanjakan barang yang tujuannya hanya untuk memenuhi kemauan bukan kebutuhan, ujung-ujungnya menjadi tidak karuan. Meski begitu, kartu kredit ada baiknya. Ia akan sangat berguna jika dalam kondisi darurat seperti saat sakit dan sedang tidak ada uang. Harapannya sih jangan sampai kita berada dalam posisi darurat.
Dari tadi kayaknya serius banget! Sekarang bolehlah santai sedikit, menikmati hidup yang semakin berat. "Menikmati hidup itu harus," ungkap Sembel. Cuma, tetap terkontrol dan uang untuk menikmati hidup itu masuk dalam anggaran entertainment yang sudah dipikirkan sebelumnya.
Jadi, siapa bilang berhemat tidak bisa nikmat!

boks
UTANG BAIK DAN UTANG TIDAK BAIK

Menurut Sembel, ngutang boleh-boleh saja asalkan memang membawa manfaat. Sembel menerangkan, ada dua jenis utang, yakni utang baik dan utang tidak baik. Maksud utang baik, jika utang itu diambil, akan mendatangkan pendapatan, entah sekarang atau di masa mendatang. Contohnya, utang untuk biaya sekolah. Kenapa? Dengan bersekolah kita memiliki kemampuan tambahan yang diharapkan dapat mendongkrak pendapatan.
Sedangkan utang yang tidak baik adalah utang yang hanya untuk memuaskan kebutuhan konsumtif kita. Sudah tidak mengembangkan aset yang kita punyai, utang seperti ini biasanya dikenai bunga yang tinggi. Sifat konsumtif ini juga patut diwaspadai saat berhubungan dengan sembako. Kata kuncinya, kebutuhan atau keinginan?
Contohnya, membeli beras. Perlukah membeli yang kualitas satu? Kalau membeli beras kualitas tiga atau dua yang lebih murah, apa tidak bisa? Belum tentu beras kualitas dua atau tiga tidak ada kelebihannya. Mungkin perlu alternatif cara memasaknya, misalkan perlu lebih banyak air sewaktu menanak agar nasinya menjadi lebih enak, misalnya.



Oleh: A. Bimo Wijoseno




Naiknya harga BBM 1 Oktober 2005 lalu jelas-jelas membuat hampir seluruh keluarga di Indonesia klenger. Mengeluh atau protes atas kebijakan sepihak pemerintah ini rasanya percuma saja. BBM tetap saja naik harganya. Kini saatnya bagaimana menyiasati keadaan yang serba sulit ini agar tidak menjadi semakin terbelit.
=====
Saat makan siang di warung bersama teman-teman sekantor, terdengar sebagian percakapan mereka.
"Huh, harga BBM naik gila-gilaan, tapi penghasilan masih tetep aja. Mau berhemat, apa yang mau dihemat. Semua harga kebutuhan lain juga sudah ikut-ikutan naik."
"Sudahlah enggak usah stres. Nikmati aja hidup ini dan always smile ... biar enggak stres,” timpal teman yang lain.
Waduh, setelah dipikir-pikir memang tidak mudah mengatur keuangan di saat sekarang. Kalau hanya senyum-senyum saja seperti kata teman tadi, apa malah tidak dibilang stres?
Melihat situasi dan kondisi saat ini memang saatnyalah sekarang hidup berhemat. Caranya? Tidak ada salahnya mengintip kondisi keuangan Yunika, sebut saja begitu, seorang guru matematika di sekolah swasta terkenal di Jakarta Pusat. Sebagai guru matematika, ia pun menyiasati pengeluarannya dengan mematematikakan penghasilannya.
“Memang kita harus pintar-pintar mencari celah penghematan. Dan yang terpenting, mencatat setiap pengeluaran meskipun hanya Rp 50,-. Ini untuk mengendalikan pengeluaran. Kemudian catatan ini direkap tiap bulan. Secara otomatis kita bisa berhemat,” paparnya.
Meskipun masih lajang, secara lengkap dan teratur Yunika merinci keuangannya demikian; setiap habis gajian ia menyediakan beberapa amplop dan memisahkan uangnya untuk masing-masing pos pengeluaran. Dari penghasilannya yang Rp 2,5 juta, untuk biaya transpor per bulan Rp 600.000,-, makan Rp 150.000,-, langganan majalah dan koran Rp 75.000,-, listrik, PAM, dan telepon Rp 250.000,-, cicilan KPR Rp 1,3 juta, biaya gas Rp 60.000,-. Masih ada sisa Rp 65.000,-. “Nah, sisanya ini ditabung. Lumayan, meski sedikit. Kuncinya, beli apa yang kita butuhkan, bukan yang kita inginkan,” ujarnya.
Apakah cara yang dilakukan Yunika itu tepat atau tidak, kita coba konfirmasi ke pakar ekonomi, Roy Sembel, Ph.D.

Mengubah pola pikir
Menurut Roy Sembel, definisi kebutuhan sehari-hari terus berkembang dari waktu ke waktu. Maksudnya, coba kita ingat kembali ke tahun 1960-an saat bangsa Indonesia dengan kebutuhan yang jauh lebih minim dari sekarang tapi tetap bisa bertahan hidup.
Zaman dulu orang mau saja naik sepeda menempuh jarak 5 km. "Contoh nyata, ibu saya. Waktu itu ibu pegawai kelas menengah dan ia bersepeda ke kantor berjarak 5 km dari rumah. Memang, zaman dulu alat transportasi masih jarang, tidak seperti sekarang. Tetapi zaman sekarang sudah langka orang yang mau bersepeda ke kantor, 'kan?” ujar Sembel.
Kalau kita kupas mengapa kini orang enggan bersepeda ke kantor, ada berbagai alasan. Misalnya saja, tidak nyaman, capek, keringatan, panas, kena debu, atau jaraknya jauh dari tempat tinggal. Saat ini untuk pergi ke kantor orang harus memiliki alat transportasi mobil, motor, atau minimal naik angkutan umum. “Kini orang sudah menganggap kebutuhan yang sekarang berlaku ini harus begitu adanya. Itu terjadi karena perkembangan atau pergeseran pemikiran. Padahal, kalau mau irit, bersepeda ke kantor tetap masih bisa dilakukan,” terang Sembel.
“Intinya, perlu ada pemikiran baru. Jangan berpikir apa yang sudah kita lakukan sekarang ini seharusnya memang sudah begitu dan merasa sudah sepantasnya. Padahal tidak demikian dan yang terpenting lagi kita bisa menyesuaikan diri atau beradaptasi dengan cepat,” paparnya.
Sembel memberi contoh pegawai yang tinggal di luar kota, tetapi bekerja di pusat kota. Untuk ongkos ke tempat kerja tentu saja perlu biaya besar. Bisa-bisa, separo atau malah lebih dari gajinya habis hanya untuk biaya transportasi. Mungkin perlu dipertimbangkan jika perbandingannya cukup signifikan antara pengeluaran yang besar untuk transportasi dibandingkan jika kita indekos di dalam kota.
Meskipun sewa kamar kos di dalam kota mahal, kita bisa berhemat dengan jalan kaki ke kantor dan makan siang di rumah. Kita perlu berpikir alternatif, mana yang bisa dilakukan. Apalagi dengan begitu kita bisa berhemat.

Berpikir kreatif
Sebelum memberikan tips selanjutnya, Sembel menegaskan bahwa yang namanya berhemat pasti tidak nikmat. Menurut dia, rasa tidak nikmat atau tidak enaknya berhemat karena hilangnya kenyamanan yang sudah biasa diterima. Namun, bagi Sembel berhemat itu tetap bisa terasa nikmat. Kuncinya, tergantung pada kreativitas kita saja.
Masih kata Sembel, untuk berhemat tapi tetap nikmat kita harus mengubah pola pikir lama dan berpikir kalau kita bisa menikmati kehematan itu. Misalnya, dulu kita naik mobil sendirian ke kantor sendiri. Dengan naiknya harga BBM sekarang, kita bisa beramai-ramai bersama tetangga yang searah menuju ke kantor. Namanya, car pooling alias mengompreng.
Saat berangkat ke kantor dengan satu mobil ini kita bisa mendapatkan beberapa manfaat. Pertama, bisa lebih menjalin keakraban dengan tetangga atau bisa juga bertambah teman. Daripada berangkat sendirian dengan mobil kosong; bengong sendirian terjebak kemacetan ditambah memikirkan biaya bensin yang dikeluarkan. Dengan mengompreng kita bisa mengurangi biaya untuk bahan bakar sekaligus bisa menolong orang lain yang kesulitan transportasi. Singkatnya, bisa sama-sama untung, gitu loh.
Selain berpikir kreatif, kita pun dituntut berpikir untuk jangka menengah dan jangka panjang. Tidak melulu memikirkan apa yang dihadapi di depan saja. Contohnya, pemakaian alat pemanas air. Kenapa tidak memakai alat yang bertenaga Matahari. Awalnya, memang terasa mahal, tetapi kalau dipikir jangka panjangnya, bisa malah jauh lebih murah biaya operasionalnya.
Nah, sekarang bagaimana berhemat jika berurusan dengan sembako? Dalam hal ini kita tentu tidak bisa berhemat dengan mengurangi jatah sembako. Bisa-bisa malah sakit yang berujung ke pengeluaran ekstra buat berobat. Sekali lagi Sembel mengingatkan untuk mengubah pola pikir dan berpikir kreatif mencari alternatif.
Misalkan, kita biasa belanja sembako di pasar A. Kita bisa membeli sembako lebih murah dengan cara patungan bersama 5 - 10 tetangga, misalnya. Cuma, membelinya tidak di Pasar A lagi, namun langsung ke sumbernya. Di pusat grosir, contohnya. Dengan membeli dalam jumlah banyak diharapkan, harganya bisa jatuh lebih murah dibandingkan dengan membeli secara eceran.

Kebutuhan atau keinginan
Sebelum mengakhiri obrolan, Sembel mewanti-wanti untuk tahan menghadapi godaan. Soalnya, inilah setan belang yang bisa bikin niat berhemat menguap lenyap. "Godaan terberat biasanya dari lingkungan terdekat serta lingkungan sekitar kita," kata Sembel.
Misalnya ada komentar, biasanya naik mobil, kok sekarang naik angkot? Gengsi dong! Tinggal kitanya memilih mau gengsi-gengsian sekarang atau berjuang untuk hasil yang akan diperoleh dan dinikmati di masa depan. Memang untuk berhemat butuh tekad, niat, mengubah pola pikir lama, dan membuat kebiasaan baru. Biasakan juga untuk membuat anggaran seperti yang dilakukan Yunika tadi.
Gerakan hidup hemat juga bisa diajarkan kepada anak-anak. Awalnya, mereka akan protes, namun dari pengalaman Sembel, anak-anak bisa juga kok diajak berhemat. Kuncinya justru berawal dari orangtua. Soalnya, anak-anak melihat teladan dari orangtua. "Tidak semua permintaan anak-anak langsung dipenuhi. Contoh kecil, seorang bapak melaksanakan hidup hemat dengan tidak merokok atau berhenti merokok. Si ibu yang tadinya hobi belanja dikurangi," kata Sembel. Dengan memberi contoh begitu, maka atmosfer berhemat pun dibentuk mulai dari keluarga.
Godaan lainnya adalah kartu kredit. Rasanya, kartu ini hampir pasti nyelip di dompet banyak orang. Apalagi sekarang banyak kartu kredit yang ditawarkan tanpa agunan. Tinggal gesek, urusan beres. “Banyak orang salah persepsi, mengganggap kartu kredit itu tambahan income atau pemasukan. Padahal itu utang,” ungkap Sembel.
Jangan sampai gara-gara utang kartu kredit, hidup kita menjadi tidak tenang karena kerap dikejar-kejar debt collector atau centeng. Membelanjakan barang yang tujuannya hanya untuk memenuhi kemauan bukan kebutuhan, ujung-ujungnya menjadi tidak karuan. Meski begitu, kartu kredit ada baiknya. Ia akan sangat berguna jika dalam kondisi darurat seperti saat sakit dan sedang tidak ada uang. Harapannya sih jangan sampai kita berada dalam posisi darurat.
Dari tadi kayaknya serius banget! Sekarang bolehlah santai sedikit, menikmati hidup yang semakin berat. "Menikmati hidup itu harus," ungkap Sembel. Cuma, tetap terkontrol dan uang untuk menikmati hidup itu masuk dalam anggaran entertainment yang sudah dipikirkan sebelumnya.
Jadi, siapa bilang berhemat tidak bisa nikmat!

boks
UTANG BAIK DAN UTANG TIDAK BAIK

Menurut Sembel, ngutang boleh-boleh saja asalkan memang membawa manfaat. Sembel menerangkan, ada dua jenis utang, yakni utang baik dan utang tidak baik. Maksud utang baik, jika utang itu diambil, akan mendatangkan pendapatan, entah sekarang atau di masa mendatang. Contohnya, utang untuk biaya sekolah. Kenapa? Dengan bersekolah kita memiliki kemampuan tambahan yang diharapkan dapat mendongkrak pendapatan.
Sedangkan utang yang tidak baik adalah utang yang hanya untuk memuaskan kebutuhan konsumtif kita. Sudah tidak mengembangkan aset yang kita punyai, utang seperti ini biasanya dikenai bunga yang tinggi. Sifat konsumtif ini juga patut diwaspadai saat berhubungan dengan sembako. Kata kuncinya, kebutuhan atau keinginan?
Contohnya, membeli beras. Perlukah membeli yang kualitas satu? Kalau membeli beras kualitas tiga atau dua yang lebih murah, apa tidak bisa? Belum tentu beras kualitas dua atau tiga tidak ada kelebihannya. Mungkin perlu alternatif cara memasaknya, misalkan perlu lebih banyak air sewaktu menanak agar nasinya menjadi lebih enak, misalnya.


Bermalam di Menara 288 Meter




4 Hari Bermalam di Menara 288 Meter
Oleh: A. Bimo Wijoseno



Pekerjaan panjat-memanjat gedung atau bangunan tinggi bagi beberapa orang bukan pekerjaan sulit dan bikin nyali ciut. Meski terlihat mudah dan sederhana pekerjaan itu, nyawa taruhannya. Hilang konsentrasi sedetik saja bisa-bisa nyawa berpindah tempat.
=====
Jangan tantang Rijady Bidjanantho (39) untuk adu memanjat pohon atau menara pemancar televisi. Menara setinggi 288 m (setara bangunan bertingkat 90-an) ditaklukkannya hanya dalam waktu 30 menit!
Andy, begitu bapak lima anak ini disapa, memang bekerja sebagai teknisi pemancar stasiun televisi swasta pertama di Indonesia, RCTI. Sudah tak terhitung berapa kali ia naik- turun menara setinggi itu, yang berdiri menancap langit di kawasan Kebojeruk, Jakarta Barat. Bahkan ia pernah menginap di atas menara selama selama empat hari tiga malam.
Jelas, ia bermalam di atas sana bukan untuk leha-leha santai atau lari dari persoalan duniawi. Kala itu ia harus segera membetulkan kerusakan antena dalam waktu singkat. Sebab, kalau antena pemancarnya rusak, RCTI tidak bisa siaran. “Saya memutuskan untuk menginap, supaya cepat selesai. Daripada harus naik-turun tower, (dengan menginap) lebih hemat waktu dan tenaga,” ujar Andy.

Kebanyakan stasiun teve
Berbeda dengan menara pemancar TVRI yang berupa gedung dan dilengkapi lift untuk sampai ke puncak, menara antena pemancar RCTI berupa struktur palang besi tinggi menjulang seperti tiang listrik tegangan tinggi. Untuk menuju ke atas tidak tersedia lift, sehingga harus menapaki tangga satu demi satu. Jika jarak antaranak tangga 30 cm, maka jumlah anak tangganya ada sekitar 950-an biji.
"Saya di sana tidur di atas bordes (pijakan tempat istirahat - Red.) yang ngepas untuk tidur. Ukurannya kira-kira satu kali dua meteran,” ujar Andi ketika ditanya pengalamannya menginap di "hotel di atas angin" kala itu.
Keputusan bermalam waktu itu sebenarnya di luar rencana. "Bos saya juga tidak menyuruh saya menginap. Masalahnya, ada delapan distributor (alat yang tersambung ke beberapa pemancar/transmitter - Red.) yang terbakar. Distributor itu harus segera diganti. Saya harus menggantinya satu per satu. Bautnya banyak sekali."
Entah kebetulan atau tidak, kerusakan itu terjadi menjelang hari jadi ke-14 RCTI tahun 2002. Rusaknya distributor diketahui awal Agustus, padahal acara perayaan ulang tahunnya tanggal 24 Agustus. Repotnya, distributor tadi harus diimpor, sehingga tidak bisa segera dipasang. Menjelang hari ulang tahun, baru distributor itu datang. “Sebelum hari H harus sudah rampung,” tandas Andy.
Omong-omong, mengapa dan bagaimana distributor bisa terbakar? Menurut Andy, di menara itu ada beberapa pemancar seperti untuk RCTI, SCTV, Metro TV, dan Global TV. Sinyal-sinyal yang keluar dari pemancar tadi sama-sama kuat sehingga saling bertabrakan. Akibatnya, distributor menjadi panas dan lama-kelamaan terbakar. Kalau alat itu rusak, otomatis tidak ada acara yang bisa disiarkan.
Sebenarnya, pihak RCTI memiliki antena cadangan setinggi 180 m. Namun, dengan antena yang lebih pendek seperti itu, jangkaunan siarannya terbatas dan hasil pancaran kurang bagus. Gambar yang sampai di pesawat televisi pemirsa kepyur-kepyur banyak "semut"-nya.
Entah energi dari mana yang membuat Andy bisa kuat bertahan selama empat hari tiga malam di atas menara. “Saya sendiri juga heran kok, Mas,” ucap Andy tersenyum. Memang, setelah turun capeknya baru terasa. Untuk membayar utang kelelahannya Andy mengambil cuti selama seminggu sampai merasa pulih dan bugar sebelum kembali bekerja.

Punya nyawa cadangan
Pekerjaan yang termasuk menantang bahaya ini butuh persiapan yang cukup. Sebelum memanjat, ada beberapa hal yang harus dilakukan. Selain siap secara fisik dan mental, peralatan keselamatan juga tak lepas dari perhatian. Sebelum naik, Andy memakai werpak, tali pengaman, dan membawa radio komunikasi. Tak lupa sepatu antilicin dan peralatan grounding agar tidak terkena setrum.
Soal tali pengaman, Andy tidak main-main ketika memeriksanya. "Ibaratnya, (tali pengaman itu) nyawa kedua,” ucapnya. Tak lupa ia membawa bekal makanan dan minuman serta minta berkat dari Tuhan untuk menjagainya selama menjalankan tugas.
Sebisa mungkin Andy naik menara saat tidak digunakan atau sedang tidak operasional. Sebab, ketika antena berfungsi, ia memancarkan gelombang elektromagnet yang besar. Saking kuatnya, pancaran gelombang ini bisa dirasakan lewat pancaindera kita. "Di kulit seperti terasa digigit semut, clekit-clekit," ia menggambarkan. Jika tidak kuat menahan rasa clekit-clekit, bisa-bisa konsentrasi buyar sehingga malah bisa jatuh. Efek lain dari medan magnet ini, kalau terus-menerus terpajan, bisa membuat pria mandul. Untung Andy sudah punya anak. Berarti ia tidak mandul 'kan?
Cuaca juga patut diperhatikan. Dalam kondisi normal saja udara di atas sana tidak sesejuk di bawah; terasa kering dan sengatan Matahari begitu nyelekit, bikin kulit cepat hitam. Kalau sadang tutun hujan, sebaiknya tidak naik menara. Sebab, bisa tersambar petir atau terpeleset karena licin meski sudah bersepatu antilicin.
"Tapi saya pernah nekad (naik menara) walaupun sedang hujan disertai angin dan badai. Waktu itu saya nekad karena tugas yang diberikan harus selesai cepat dalam waktu tiga hari. Ketika itu saya membetulkan antena di Bukittinggi (Sumatera Barat), dan besi-besi antenanya banyak yang terlepas. Padahal, teman-teman sudah memanggil-manggil saya untuk turun.”
Namun, saat itu Andy tetap bekerja. Ia yakin, dengan safety belt yang dikenakannya, walaupun sempat khawatir juga karena kabut sudah menyelimuti tubuhnya. "Sepertinya, saya sedang berada di atas awan. Untungnya, hawa dingin bisa ditangkal karena saya sudah siap memakai jaket tebal dan tahan air. Hujannya lebat dan angin cukup kencang karena lokasinya di daerah pegunungan. Begitu pekerjaan selesai, saya langsung turun."
Dalam situasi seperti itu, Andy dituntut untuk tetap tenang. Ia menambahkan, "Untuk naik antena harus siap (mental)." Dalam arti, kalau tidak yakin betul, ia mengurungkan niatnya. Sebab, kalau tetap ragu dan nekad naik, bisa membahayakan diri. Begitu juga jika sedang punya masalah, harus ia lupakan dulu.
"Kita mesti konsentrasi. Kalau konsentrasi terganggu sedikit saja, saya akan berhenti sebentar. Saya tidak mau mati konyol. Terpeleset sedikit saja bisa fatal akibatnya. Pernah teman saya jatuh terpeleset, untung saja terikat tali pengaman, tapi ia mengalami cidera di kakinya. Karena itu kita harus paham betul kemampuan kita sampai seberapa."

Tidak ngoyo
Pekerjaan yang dilakukan dengan senang hati akan memberikan kekuatan dalam melakukan pekerjaan tersebut. Hal ini dirasakan betul oleh Andy. Tugas yang menantang maut itu tidak dia anggap sebagai beban. "Saya tidak pernah (begitu merasa) capek, terus langsung turun. Paling istirahat sebentar, kemudian dilanjutkan lagi, walaupun saya tetap tidak memaksakan diri. Kalau saat itu kuatnya naik 10 meter saja ya saya jalani, kemudian berhenti," ujar Andy sambil membeberkan pengalaman, pada 100 m pertama memang terasa berat karena melawan gravitasi. Selebihnya, terasa enteng saja saat memanjat.
Justru karena tidak ngoyo (memaksa diri) itulah Andy kuat bermalam di atas menara. Padahal, tantangannya tergolong berat. Selain tetap waspada berada di ketinggian, kelelahan dan emosi perlu diantisipasi. "Kelelahan membuat saya juga mudah emosi. Teman-teman satu tim dari kantor yang berjumlah lima orang memutuskan untuk istirahat. Saya kemudian dibantu tenaga teknisi dari pihak luar. Mungkin karena mereka juga sudah kelelahan, pekerjaannya dilakukan agak sembarangan. Memasang baut-baut dan sambungan asal selesai cepat.
"Saya tidak terima. Kalau kerjanya tidak sempurna, bukannya menjadi lebih baik, tapi malah jadi tambah kacau atau meluas kerusakannya. Toh saya tidak boleh emosi berlarut-larut. Bisa-bisa pekerjaan malah jadi tidak selesai. Lantas saya bongkar lagi, saya kerjakan sendiri nonstop semampu saya," kisahnya.
Untunglah tugas itu selesai. Sehari sebelum turun, setelah diperbaiki, antena pemancar diuji coba sekitar pukul 04.00. Saat uji coba Andy menyempatkan diri tidur sejenak. Rasanya nyenyak sekali. Saat terbangun, ia mengecek kembali pekerjaannya. Begitu dirasa sudah beres, ia pun langsung turun.
Untunglah, sampai saat ini Andy tidak pernah mengalami kecelakaan dalam bekerja. Bisa jadi karena ia sudah terbiasa memanjat sejak kecil. Semasa kecil dulu Andy tinggal di kawasan Condet, Jakarta Timur, yang dekat dengan Lapangan Udara Halim Perdanakusuma. Ia suka memanjat pohon kecapi yang tertinggi hanya untuk melihat roda pesawat terbang yang mau mendarat atau mengudara. “Saya lihat rasanya pesawat itu dekat sekali,” kenangnya.
Kini, hobinya memanjat itu menjadi tumpuan hidup diri dan keluarganya.

boks
KENCING DI BOTOL

Pertanyaan usil berkaitan dengan menginapnya Andy selama empat hari tiga malam di atas menara tentu bagaimana ia menuntaskan hajatnya. "Oh, saya bisa tahan tidak buang air besar sampai dua hari. Tapi kalau tidak bisa tahan kencing, saya tampung di botol bekas kemasan air mineral saja,” ujarnya sembari senyum-senyum.
Berkaitan dengan logistik, ia mengandalkan pasokan makanan berat dan air minum dari bawah yang diantarkan naik oleh temannya. Begitu juga dengan pakaian ganti atau suku cadang yang kurang. Terpaksa begitu sebab jika menggunakan kerekan untuk menaikkan barang-barang itu, tidak praktis. Selain butuh waktu untuk memasang tali, sulit mencari tali yang panjangnya sampai 300 m.
Selain itu Andy juga berbekal makanan ringan atau mi cepat saji kesukaannya. "Mi instan langsung saya makan mentah-mentah, tidak saya masak. Saya lebih suka begitu karena seperti kerupuk,” ungkap suami dari Darti Rukayah ini sembari tertawa.

Beristri Muda? Enggak Masalah


Lelaki Tua Beristri Muda? Enggak Masalah
Oleh: A. Bimo Wijoseno




Punya istri yang umurnya jauh lebih muda memang bukan perkara mudah. Jika beda usianya terlalu jauh, urusan kepuasan di atas ranjang bisa jadi taruhan. Kadang, saat suami sudah merasa terpuaskan, istri justru masih ingin sesi tambahan. Bakal repot, kalau tak ada keinginan memperbaiki keadaan.
=====
Usia gaek dalam banyak hal tidak menjadi masalah buat pria. Bahkan ada pemeo yang populer di kalangan kaum laki-laki, bahwa "hidup baru dimulai di usia 40 tahun". Di usia matang itu pula, lelaki sering disebut-sebut mengalami puber kedua. Mata mulai lirik sana, lirik sini. Bahkan banyak yang sampai jatuh cinta lagi. Semangat dan tingkah lakunya pun mirip remaja yang sedang kasmaran.
Kalaupun kemudian harus menjatuhkan pilihan, pria matang itu bakal memilih wanita muda. Tak jarang, wanita yang dipilihnya berusia belasan hingga puluhan tahun lebih muda. Padahal, dari beberapa sumber pustaka dan pengalaman banyak orang, ketika mengalami ketuaan, pria (dan manusia pada umumnya) memasuki masa rentan terhadap serangan berbagai macam gangguan dan penyakit. Sialnya lagi, usia yang makin meningkat itu secara alamiah kerap disertai juga dengan penurunan kemampuan di atas ranjang, mulai dari sulit berereksi hingga lambat ejakulasi. Akibatnya, keinginan untuk berhubungan seksual dengan pasangan yang berumur jauh lebih muda menjadi jauh berkurang. Frekuensi bercinta pun ikut menurun.
Namun, itu yang umum terjadi. Bagi M. Gumulyo (51), lelaki yang punya istri 24 tahun lebih muda, usia makin lanjut justru membuat ranjangnya makin bergoyang kencang. Mau tahu rahasianya?

Seks nikmat perlu sehat
"Untuk bisa tetap menikmati aktivitas seks sampai tua, apalagi jika beristri lebih muda, badan kita perlu sehat dan fit," begitu ungkap Gumulyo.
Marketing supervisor di sebuah perusahaan perkapalan di Jakarta ini sejak 2002 ditinggal istrinya yang meninggal akibat sakit. Gumulyo sempat mengubur keinginan untuk menikah lagi. Tak terbayangkan jika akhirnya dia mendapat jodoh wanita yang usianya jauh lebih muda. "Ceritanya panjang, tapi intinya kami menikah karena memang saling mencintai dan saling membutuhkan," ucap Gumulyo. Adakah faktor lain? "Ya, daripada uang habis untuk golf, mengapa tidak dipakai untuk pacaran saja?" Gumulyo bercanda.
Sudah lama Gumulyo mengenal istri keduanya, Iin (27), saat almarhum istrinya masih hidup. Tapi hanya sebatas teman. Baru setelah istri pertamanya meninggal, hubungan Gumulyo dengan Iin makin dekat, sehingga akhirnya memutuskan untuk mengikat tali perkawinan. Awalnya, ia mengaku agak ragu untuk memutuskan kembali berumah tangga. Apalagi dari sisi usia, Iin jauh lebih muda, bahkan sebaya dengan umur anak-anaknya. "Anak pertama saya dari istri terdahulu sudah berumur 25 tahun, sedangkan yang bungsu berumur 22 tahun," ungkapnya. Selain itu halangan juga datang dari ayah Iin. "Beliau melarang saya berhubungan dengan anaknya. Maklum, umur saya dengan bapaknya hanya beda lima tahun," Gumulyo terkekeh.
Namun sampai hari ini, setelah dua tahun mereka menikah, semuanya berjalan lancar saja. Gumulya tak menampik, keinginannya menikah lagi juga tidak lepas dari masalah kebutuhan seks. Gumulyo pernah mendengar, keluarga yang harmonis akan mempengaruhi kesehatan seks seseorang. Jadi, jika Gumulyo lebih banyak larut dalam kisah sedih masa lalunya bersama istri terdahulu, lambat laun kehidupan seksnya pun akan ikut mengalami gangguan.
Dalam pikiran Gumulyo sempat terlintas, di usia 50 tahun nanti mungkin saja ia akan mengalami keluhan ereksi dan sejenisnya. Apalagi teman-teman seangkatannya sewaktu sekolah dulu sudah banyak yang mengeluhkan soal itu.

Berkat VCO?
Setelah mempersunting wanita yang dicintainya, ternyata semangat hidup Gumulyo semakin membara. Gumulyo mengaku, sesibuk apa pun, dia selalu berusaha menjaga kondisi tubuhnya agar selalu fit dan sehat. Ia termasuk orang yang percaya, untuk mempertahankan kualitas dan kuantitas aktivitas ranjang, tubuh harus selalu fit dan sehat. "Kalau sakit, makan saja tidak enak, apalagi melakukan hubungan seksual," tegasnya. Rumus ini berlaku untuk semua umur, tak hanya buat pria paruh baya.
Untuk itu, Gumulyo giat berolahraga. Paling tidak, dua kali dalam seminggu dia mengayunkan tongkat golfnya. Menariknya, selain olahraga, meski tak berani memastikan kebenarannya 100%, Gumulyo juga menyebut sebuah kebiasaan yang diduganya ikut mendongkrak kemampuan dalam berhubungan intim. Boleh percaya boleh tidak, ia punya kebiasaan mengonsumsi virgin coconut oil (VCO).
Awalnya, Gumulyo mengaku hanya tahu khasiat VCO dari rekan kerjanya. "Mereka bilang, ampuh untuk menyembuhkan macam-macam penyakit, dari penyakit yang paling ringan sampai kanker," cerita Gumulyo enteng. Karena penasaran, ia lalu mencobanya. Saat mencoba, tujuannya murni hanya untuk menjaga kesehatan dan vitalitas tubuh. Sama sekali tidak diembel-embeli maksud dan tujuan lain.
Namun, beberapa waktu berselang, kurang lebih satu atau dua bulan kemudian, Gumulyo merasakan perubahan yang cukup berarti setelah mengonsumsi VCO sebanyak dua atau tiga sendok makan dalam sehari. Stamina tubuhnya terasa meningkat. "Enggak ada capeknya dan saya jadi jarang sakit," ujar Gumulyo mantap. Yang lebih heboh, pria paruh baya ini merasakan juga dampaknya terhadap kemampuannya di atas ranjang. "Pokoknya lancar deh ...."
Namun sekali lagi dia tidak berani memastikan, apakah meningkatnya vitalitas itu memang benar disebabkan oleh minuman yang rajin dikonsumsinya itu. "Yang berani saya pastikan, setiap malam saya bisa kuat ereksi dan berhubungan seks. Padahal, baru setahun ini minum VCO," akunya sambil mengulum senyum. Gumulyo tidak menyangka, rajin berolahraga dan minum VCO itu ternyata berbuah pula di atas ranjang. Sebuah kejutan yang sangat menyenangkan.

Dua-tiga kali semalam
Gumulyo boleh dibilang termasuk satu dari sedikit pria yang diberi banyak berkah. Karena di lain tempat, banyak lelaki seusia dia yang karena berbagai sebab, tak lagi punya keinginan menghangatkan ranjang. Kalaupun keinginan itu ada, "burungnya" sudah tak mampu berdiri lagi.
Tak terbayangkan jika hal itu terjadi juga pada Gumulyo, pasti akan tercipta neraka dunia mengingat istrinya yang 24 tahun lebih muda. Gumulyo tersenyum-senyum saja ketika ditanya, apakah istri yang masih hot dan kinyis-kinyis itu ikut mempengaruhi tingginya hasrat. Namun ia tidak memungkiri, aktivitas seks yang dilakukannya bersama sang istri memang menimbulkan kesan tersendiri. Bahkan dengan frekuensi yang cukup tinggi, 4 - 6 kali dalam seminggu. Lebih gila lagi, dalam semalam ia bisa 2 - 3 kali berhubungan.
Bagi Gumulyo, hubungan seks jelas bukan hal baru. Ia sudah merasakan banyak "asam dan garam" kehidupan ranjang. Tetapi buat Iin, berhubungan sebagai suami-istri adalah pengalaman yang sama sekali baru. Untuk menyelaraskan perbedaan itu, "Yang tua mesti ngajari yang muda," ujar Gumulyo seraya menambahkan, "Saya lebih suka beraktivitas seks pada malam hari, mulai sekitar pukul 21.00 - 22.00 sampai selesai. Sesudah itu bisa langsung tidur."
Seperti yang seharusnya, mereka tidak langsung "tancap gas". Dimulai dengan pemanasan, seperti saling memijat dan sebagainya. Bahkan jauh sebelumnya, saat Gumulyo masih di kantor dan istrinya di rumah, mereka sudah berbincang mesra melalui telepon.
"Pernah istri saya membawa sebuah majalah, terus kami coba praktikkan (isinya)," begitu akunya. Gumulyo lagi-lagi termasuk lelaki beruntung karena, "Untuk urusan seks, istri saya ini berani minta dan terbuka," Gumulyo buka rahasia.
Buat mereka, komunikasi menjadi persoalan yang sangat penting untuk menjaga keharmonisan rumah tangga. Guna menjalin kemesraan, mereka memanfaatkan betul alat komunikasi yang ada, terutama telepon. Konsekuensinya sudah bisa ditebak, tagihan telepon rumahnya bisa membengkak sampai lebih dari Rp 300.000,-. Belum termasuk pulsa telepon seluler yang jumlahnya dapat mencapai sekitar Rp 200.000,-.
"Kadang istri saya tingkahnya seperti anak kecil. Mungkin memang faktor umurnya yang memang masih muda," cetus Gumulyo. Misalnya, kalau minta sesuatu, dia sering merengek-rengek. Kalau keluar manjanya itu, Gumulyo suka gemas, lalu pura-pura mengambil sapu sambil bilang, "Tak pukul lo". Iin biasanya langsung bilang, "Emangnya aku anak kamu?" Pokoknya, suasananya begitu renyah dan meriah.
Bagaimana dengan soal anak? Tak bisa dipungkiri, setiap pasangan yang berumah tangga tentu ingin memilikinya. Gumulyo sendiri sebenarnya sudah tidak menghendaki punya anak lagi. Tetapi misalkan masih diberi keturunan lagi, dengan senang hati ia akan menerima.
Sebaliknya dengan Iin. Bahkan istri tersayangnya itu sudah mulai giat berusaha mengadopsi anak, meski niat Iin itu masih diurungkan Gumulyo. Sebab, mereka perlu pikir panjang soal kebutuhan pendidikan anak adopsinya nanti, mengingat usia Gumulyo sudah tidak muda lagi. "Kasihan kalau nanti tinggal istri saya sendiri yang harus menanggung semua biaya keperluan anaknya."
Selain punya fisik sehat, Gumulyo juga punya prinsip menjalani kehidupan tanpa stres. Pikiran kerap berpengaruh pada kesehatan dan aktivitas lain. "Saya menghindari stres. Saya bikin hidup saya ini semeleh, pasrah dan agak cuek. Biarkan saja omongan orang, enggak usah terlalu dipikir."
Umur memang di tangan Tuhan. "Saya pernah omong ke istri saya, 'Kalau aku mati duluan bagaimana?'," ceritanya. "Saya tidak akan menikah lagi," sambung Gumulyo menirukan jawaban istrinya. Mendengar jawaban macam itu, Gumulyo membalas sambil bercanda, "Ah, saya juga pernah omong begitu." Bapak dua anak yang lima tahun lagi akan memasuki pensiun ini bersyukur lantaran istrinya sangat mnyayanginya, walaupun rasa cemburunya juga gede setengah mati.
Namun, bukan cuma Iin yang besar rasa cemburunya. "Dulu saya tidak pernah merasa cemburu, karena istri saya yang dulu orangnya lurus. Tetapi sekarang saya cemburu, karena istri saya jauh lebih muda usianya," tutup Gumulyo.


Tuesday, February 27, 2007

Mertua galak


Wah, Mertuaku Galak Lo!
Oleh: A. Bimo Wijoseno




Hubungan menantu perempuan dengan mertua perempuannya kerap digambarkan bak kawasan kaya konflik dan intrik. Meski sejatinya, tak ada calon menantu yang sejak awal berniat
"makar" terhadap calon mertua. Atau sebaliknya, calon mertua merencanakan perang dengan calon istri anaknya. Namun, benang kusut pertentangan internal ini bukan tidak mungkin diurai.
=====
"Konflik antara menantu perempuan dan mertua perempuannya bukanlah bawaan sejak lahir," tegas Dewi Matindas, psikolog, membuka uraian soal "perseteruan" yang satu ini. Konflik ini timbul sebagai buah persepsi atau anggapan masing-masing pihak, yang diperkuat orang lain di lingkungannya.
Padahal, persepsi itu hasil kesimpulan atau penilaian yang belum tentu betul. Namanya saja persepsi, tentu tak lepas dari subjektivitas, pengalaman, dan kecenderungan tiap individu. Sialnya, anggapan tadi kadang disamaratakan, sehingga menjadi stereotipe.
Jika seorang menantu atau mertua terlalu berpegang teguh pada stereotipe, dampaknya bakal sangat buruk. "Persiapan perang" pun menjadi sangat berlebihan. Seorang calon menantu, misalnya, bisa saja merasakan jantungnya berdebar-debar kencang (bahkan nyaris copot) saat diperkenalkan dengan calon mertua. Ada perasaan cemas dan takut yang menggayut.
Di pihak calon ibu mertua, peneropongan pun tak kalah berlebihan. Kesimpulan akhirnya bisa saja menjadi sangat ekstrem, seperti menganggap calon menantunya tidak becus, tidak layak atau tidak pas menjadi istri anaknya. Sikap berlebihan ibu mertua itu, menurut Dewi, karena yang bersangkutan merasa sebagai orang yang telah melahirkan, membesarkan, merawat, dan mendidik anak laki-lakinya.
Si ibu kenal betul kelemahan dan kelebihan anaknya. Dia juga punya harapan tertentu pada anaknya, yang kadang terucap, kadang tidak. Kalau anak laki-lakinya mulai berhubungan dekat dengan "perempuan lain", muncul perasaan tersaingi. Timbul juga rasa takut kehilangan, atau takut adanya perubahan sikap si anak yang tidak sesuai dengan nilai-nilai yang sebelumnya ingin ditanamkan.
Tak heran banyak ibu akhirnya bersikap sangat protektif terhadap anak lelakinya. Menantu pun dengan gampang menyimpulkan, "Mertuaku galak lo!" Soalnya, dalam praktik sehari-hari, ibu tersayang kerap mengecek apakah menantunya telah merawat dan memberi perhatian pada anaknya dengan baik. Sang ibu berharap, langkahnya selama ini diteruskan atau diikuti menantunya, kalau mungkin dengan cara yang sama persis. Padahal, menantunya adalah manusia lain dengan pribadi berbeda pula.

Dua nahkoda
Ada baiknya kedua belah pihak yang berseteru memahami posisi dan perannya masing-masing dalam keluarga. Apalagi kalau menantu perempuan tinggal di "Pondok Mertua Indah". Ia harus sadar betul kalau posisinya "lebih rendah" dari mertua. Sebagai pendatang baru, dia tidak bisa langsung merenggut seluruh perhatian dan cinta suaminya. Dia juga perlu mempelajari mertuanya, misalnya tentang hal-hal apa saja atau peran apa yang masih tetap ingin dimiliki atau dipertahankan mertoku.
Cari tahu semua itu lewat dialog. Faktanya, si menantu memang tidak bisa dan tidak mungkin mencabut tali kasih ibu dengan anak lelakinya secara total. Jika dialog tidak bisa sering dilakukan, misalnya karena tidak tinggal serumah, ajaklah suami menemui ibu kandungnya secara berkala. Ajakan sebaiknya memang datang dari pihak istri, agar ibu mertua tahu kalau menantunya sungguh-sungguh memiliki perhatian.
Tidak hanya menantu, mertua pun perlu diberi kesadaran tentang posisinya. Dalam benak si ibu perlu ditanamkan juga bahwa perempuan yang baru saja berstatus sebagai menantunya masih harus banyak belajar untuk menjadi istri yang baik. Karena masih dalam taraf "belajar" itulah, wajar kalau ada banyak hal yang belum dipahaminya. Berilah menantu kesempatan untuk belajar dan terus belajar.
Ibu mertua dituntut memiliki kesabaran lebih, dan yang paling penting, perlu banyak menahan diri untuk tidak ikut campur tangan dalam urusan keluarga yang baru terbentuk. Kalau masih sebatas sumbang saran sih tidak dilarang. Dalam kesempatan berdialog dengan menantu pun, topiknya sebaiknya dibatasi, agar tidak terkesan terlalu menggurui atau mencampuri urusan pribadi mereka.
Ada juga mertua dan menantu yang langsung akur begitu bertemu. "Banyak menantu bahkan akhirnya sangat tergantung pada ibu mertua. Mereka memanfaatkan mertuanya untuk melayani suami, anak, sampai urusan rumah tangga sehari-hari," ungkap Dewi. Kelihatannya, hubungan jenis ini tak bermasalah. Namun, tanpa disadari, justru membawa dampak negatif lain, yakni keluarga baru itu tidak akan cepat dewasa dan mandiri.
Berdasarkan pengalaman, konflik ibu mertua dan menantu kerap terpicu jika keduanya lebih sering berada di dalam rumah. "Secara psikologis, dua perempuan yang mempunyai peran yang sama, sebagai ibu rumah tangga dalam satu rumah, akan sulit menghindari konflik. Ibarat kapal, ada dua nahkoda. Masing-masing merasa punya kekuatan dan peran," tutur Dewi.
Untuk menghindari konflik, salah satu pihak biasanya berusaha mengalah. Padahal, "Jika mengalah dengan menekan diri secara terpaksa, menahan perasaan sehingga dirinya tertekan, justru kurang baik. Bisa merusak batin," tegas Dewi Matindas. Lambat laun, kekesalannya akan meluber dengan "memusuhi" suami. Kalau mau mengalah, ikuti dengan sikap menerima kenyataan. Cara ini bisa membuat seseorang menjadi lebih dewasa.

Perlu kepribadian matang
Perbedaan sifat, sikap, tingkah-laku, serta harapan ibu mertua dengan menantunya memang berpotensi konflik. Tapi percayalah, konflik yang muncul itu bisa diredam. Bukan dengan menyamakan persepsi dua pribadi yang dari sononya sudah beda, tetapi dengan saling membuka diri dan menerima kenyataan. Misalnya, kenyataan bahwa mengubah diri sendiri akan lebih efektif daripada mengubah orang lain.
"Faktanya, 'kan tidak semua mertua jahat dan galak," ungkap Dewi Matindas. Apalagi kaum hawa sekarang punya pendidikan dan wawasan yang jauh lebih bagus. Dengan bekal itu, mereka tidak lagi mudah dipengaruhi berbagai stereotipe. Pun kebanyakan mertua dan menantu sekarang tidak hanya berperan sebagai ibu rumah tangga, tapi juga pekerja, sehingga diyakini lebih mudah membuka diri.
Meski begitu, tak bisa dipungkiri, masih ada juga menantu dan ibu-ibu mertua yang percaya pada stereotipe lawas. Pada menantu dan mertua jenis terakhir ini, tak ada jalan lain, stereotipe yang mengganggu itu harus dimusnahkan dulu. Karena tak akan ada hubungan harmonis dan keterbukaan, jika stereotipe itu masih bersemayam di hati masing-masing.
Adat istiadat (bukan suku) juga turut mempengaruhi hubungan menantu dan mertua. Setiap keluarga dan komunitas biasanya mempunyai nilai-nilai yang ditanamkan sejak kecil. Contohnya, seorang anak yang dibesarkan di tengah keluarga berlatar belakang guru, punya nilai-nilai berbeda dengan anak yang dibesarkan dalam keluarga berlatar belakang pedagang.
Kepribadian yang matang sangat diperlukan untuk menyikapi perbedaan nilai-nilai tersebut. Ketika memutuskan menikahi pria pujaannya, seorang perempuan tak hanya dituntut memahami pasangannya saja. Tapi juga berani "menikahi" keluarga besar calon suaminya. Makanya, kalau tidak siap mental, sebaiknya jangan buru-buru menikah. Modal umur dan duit seabrek buat biaya pesta saja belum cukup.
Omong-omong, kok para laki-laki sepertinya enggak pernah punya masalah dengan para mertua? Menurut Dewi, itu karena mereka lebih sering berada di luar rumah dan tidak "mengurusi dapur" secara langsung. Konflik biasanya timbul berkaitan dengan tanggung jawabnya sebagai kepala rumah tangga. Jika suami tidak mampu menunjukkan tanggung jawab, dalam hal memberi nafkah contohnya, barulah meletus persoalan.

Ambil sisi positif
Buat yang terpaksa (bermukim sementara atau selamanya) di "Pondok Mertua Indah" tak ada alasan berduka. Apalagi menyesali nasib sepanjang umur. Yang perlu dimanfaatkan, ambil dan pelihara sisi positifnya dan buang jauh-jauh sisi negatifnya.
Sisi positif yang bisa diambil, "keluarga baru" hasil kolaborasi anak dan menantu itu bisa belajar membina keluarga dengan baik dan benar dari mertuanya. Juga tersedia keuntungan fisik (sudah ada tempat menetap), sosial (hangatnya keluarga besar dan keamanan), dan finansial (tak perlu bayar rumah kontrakan) lantaran masih bisa nebeng fasilitas orangtua.
Sedangkan dampak negatifnya, tidak bisa cepat belajar mandiri. Padahal, membangun sebuah rumah tangga mestinya menjadi tanda kemandirian. Orangtua sangat berperan agar keluarga baru ini bisa cepat mandiri. Kalau mereka dirasa sudah siap secara fisik, mental, dan finansial, segera saja lepaskan dari rumah induk. Kalau perlu didorong. Bantulah seperlunya dan jangan terlalu melindungi.
Jika orangtua terlalu khawatir, si anak pun akan ikut mengkhawatirkan dirinya, khawatir tidak bisa menjalankan sebuah rumah tangga. Apalagi, "Penguasaan keterampilan berkeluarga di zaman ini tidak lagi menjadi hal penting yang harus dipelajari. Contoh sederhana, banyak pasangan muda yang tidak lagi merasa perlu menguasai pengenalan bumbu masak sampai cara mengasuh bayi."
"Kalau dulu, tidak tahu satu macam bumbu masak saja bisa celaka. Sekarang sih aman, toh ada banyak restoran dan makanan siap saji yang gampang didapat," ujar Dewi Matindas. Dengan kata lain, apa yang menjadi hal penting dalam persiapan berkeluarga, kini mulai berubah. Dulu, persiapan berkeluarga lebih menekankan pada keterampilan mengurusi seluk-beluk rumah tangga. Sekarang keterampilan itu dikalahkan, salah satunya barangkali oleh keterampilan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi.
Biar tidak ketinggalan zaman, hal-hal seperti itu kudu juga diketahui para menantu perempuan dan ibu mertuanya, supaya kelak tidak ada lagi konflik di antara mereka.

powered by performancing firefox

Monday, February 26, 2007

Alih Profesi? Pikir Masak-masak


Alih Profesi? Pikir Masak-masak
Oleh: A. Bimo Wijoseno


Penulis: A. Bimo Wijoseno

Karier terus melaju tentu dambaan pekerja atau karyawan. Bukan hanya demi kesejahteraan lahir yang meningkat, tetapi juga kepuasan batin. Namun, orang sering dihadapkan pada pilihan untuk tetap menekuni pekerjaan yang sedang dijalani, pindah ke tempat kerja lain, atau bahkan alih profesi. Apa pun pilihannya, pertimbangan matang diperlukan.
=====
Sudah 10 tahun Kenny Gunadi - sebut saja begitu - bekerja sebagai fotografer di sebuah studio foto di Jakarta. Namun, sebagai juru foto pengantin ia merasa, kariernya mandeg. Karier tak naik-naik. Tidak beranjak jadi supervisor atau manajer, misalnya.
Sejak hari pertama bekerja hingga hari ke 3.650, tugasnya itu-itu melulu. Memegang kamera, mengatur posisi pengantin, lalu jepret-jepret. Sempat pula ia berpikir untuk alih profesi menjadi koki atau juru masak. Kebetulan, ia gemar dan jago memasak. Kini, ia betul-betul berada di simpang jalan.
Di tengah kebimbangan itu, ia memutuskan bertanya pada orang yang berkompeten. Kebetulan ia kenal baik dengan F.X. Sigit Eko Widyananto yang aktif sebagai konsultan sumber daya manusia dari Pendulum Indonesia Consulting, Jakarta.
Dari Sigit, Kenny akhirnya tahu bahwa ada bermacam alasan yang bisa membuat seseorang bertahan atau tidak pada pekerjaan yang sedang dilakoninya. Salah satunya, berhubungan dengan pendapatan (take home pay). "Gaji ataupun pendapatan yang diterima menjadi alasan yang paling banyak dipertimbangkan oleh orang yang ingin berpindah atau bertahan pada tempat ia bekerja," jelas Sigit.
Selain itu juga faktor tunjangan dan fasilitas tertentu yang diberikan oleh perusahaan atau tempat kerja. Semisal tunjangan kesehatan, fasilitas rumah, pinjaman ringan, dan sebagainya.
Satu hal lagi yang belakangan juga ikut dipertimbangkan, yaitu faktor jarak dari rumah atau tempat tinggal ke lokasi tempatnya bekerja. Tampaknya sepele, tetapi berpotensi menjadi masalah. Apalagi bagi orang yang bekerja di kota besar seperti Jakarta. Jarak yang jauh dan macet serta makin tingginya ongkos transportasi bisa bikin orang berpikir untuk pindah tempat kerja atau ganti profesi.
Namun, memutuskan untuk pindah kerja atau alih profesi bukan urusan mudah. Menurut Sigit, dibutuhkan dorongan atau alasan yang kuat untuk itu. Berpindah pekerjaan, apalagi ganti profesi, jelas mengandung risiko di masa depan. Di sana ada ketidakpastian, apalagi orang harus memulainya dari awal. Persoalannya akan semakin rumit jika ia sudah beranak-istri.
Hubungan atau relasi sosial yang luas memang sering memudahkan seseorang mendapatkan informasi tentang lapangan kerja baru yang lebih menjanjikan dalam soal jenjang karier. Ini tentu peluang. Namun, itu pun tidak ada jaminan. Kalaupun akhirnya harus memilih, tetapkan secara hati-hati, realistis, dan fair, agar tidak menuai penyesalan di kemudian hari.

Bekerja serius
Lantas bagaimana dengan persoalan Kenny? Ia sudah merasa nyaman di tempat kerjanya. Namun, persoalannya, kenapa jenjang kariernya tidak naik-naik? Adakah sesuatu yang salah?
Harus ditelaah lebih dulu, apa yang membuat karier Kenny tidak beranjak naik. Sigit bilang, sewaktu hendak bekerja di suatu kantor atau perusahaan, sebaiknya kumpulkan informasi yang cukup tentang kantor atau perusahaan itu. Cari tahu apakah dalam formasi strukturalnya terdapat peluang untuk naik jenjang atau tidak. Dalam kasus Kenny, mungkin di studio foto tempatnya bekerja tidak ada formasi itu.
Kalaupun misalnya ada formasi yang memungkinkan pekerja atau karyawan untuk naik jenjang, perlu juga diketahui soal kriterianya. Apakah berdasarkan pada prestasi yang dicapai, kompetensi, keterampilan, atau kemahiran? Apakah berdasarkan pada senioritas? Atau, mungkin karena faktor hubungan keluarga yang biasanya ada pada perusahaan keluarga?
Kita tahu, di beberapa instansi kenaikan jenjang karier berjalan otomatis mengikuti masa kerja. Namun, di beberapa perusahaan lain kesempatan naik jenjang atau karier karyawannya dibuka berdasarkan prestasi yang dicapai (merit system).
Kalau sistem yang terakhir itu yang berlaku, saatnya kini meraih posisi itu dengan cara mengejar prestasi sebaik-baiknya.
"Prinsipnya, untuk bisa naik 'pangkat' kita harus bekerja dengan sungguh-sungguh. Bukan dengan cara menjilat atasan," ujar Sigit. Hambatan dalam meraihnya tentu saja ada. Namun, sebaiknya jadikan hambatan itu sebagai tantangan. "Kalau kita bekerja secara benar, cepat atau lambat akan terlihat apa yang sesungguhnya. (Kalau ada) penilaian negatif, akan berangsur berubah dengan sendirinya," tambah Sigit.
Lalu, bagaimana membuat diri kita menonjol dibandingkan dengan yang lain? Tentu dengan melakukan sesuatu yang bisa dianggap sebagai prestasi di tempat kerja. Prestasi yang jauh lebih tinggi dari yang dicapai teman sekerja lainnya. Misalnya, kalau bekerja di bidang marketing atau penjualan sebagai salesman, buatlah pencapaian target penjualan yang lebih dari yang lain.
Untuk mencapainya perlu strategi pribadi yang tangguh, dan mungkin juga pengorbanan. Misalnya, dengan menyediakan waktu bekerja lebih banyak, berpikir dan bertindak kreatif, atau bahkan berani mengeluarkan dana pribadi agar bisa mengejar pencapaian yang jauh melebihi target. Bisa juga dengan melakukan perjalanan jauh untuk mendapatkan pelanggan baru, dan sebagainya. Intinya, bekerja keras tapi juga cerdas.

Tiga faktor bikin betah
Kenny yang fotografer sempat tergoda untuk beralih profesi menjadi koki. Menurut Sigit, seseorang akan memutuskan pindah kerja atau alih profesi dari pekerjaan lamanya bisa karena beberapa faktor. Di antaranya, ambang batas toleransinya sudah terlampaui, kejenuhan, dan hubungan interpersonal dengan rekan sekerja kurang baik.
Untuk mengetahui apakah keputusan pindah kerja atau alih profesi itu tepat atau tidak, perlu pertimbangan yang realistis dan berimbang, agar keputusan yang diambil bukan berdasarkan emosi semata. Misalnya, karena sudah bosan di tempat lama atau lebih enak di tempat baru karena banyak bertemu teman lama.
Sedikitnya, ada tiga faktor yang membuat orang betah atau bertahan pada profesi atau tempat kerjanya. Pertama, ia bekerja di lingkungan yang mendukung karena aman dan nyaman (misalnya, tidak ada politik kantor). Kedua, gaji atau pendapatan yang ia terima sudah dianggap cukup. Ketiga, pekerjaan yang digelutinya sesuai dengan minat dan bakat.
Kalau satu dari ketiga hal itu tidak terpenuhi, biasanya orang akan mempertimbangkan untuk alih profesi atau pindah ke tempat kerja yang lain. Alih profesi pun perlu pertimbangan masak. Misalnya dengan menilik kemampuan yang dimiliki, seperti keterampilan, bakat, kompetensi, juga kemahiran. Juga menggali lagi minat dan cita-cita yang belum terlaksana. Yang tidak kalah penting, harus yakin apakah kita benar-benar mahir tentang bidang (baru) yang dipilih.
Cara melihat dan menggali kemampuan itu bisa dengan menelisik kembali intisari riwayat hidup kita. Sebagian besar waktu kita itu ada di mana? Kemudian tilik bagian mana yang membuat diri kita berprestasi. Juga dilihat apakah kita punya kebiasaan bekerja dalam tim atau bekerja sendirian. Lalu, apakah kemahiran atau keterampilan yang kita peroleh melalui pendidikan, pelatihan, atau magang bisa dijadikan pegangan atau tidak, atau masih perlu diperdalam lagi.
Setelah itu, saatnya kita bermain dengan pilihan. Yakini kalau pilihan kita tidak salah. Tentukan minat ke arah yang kuat, dibarengi membuat skema kerja: apa yang akan dicapai dan apa saja yang akan dikerjakan pada tahun pertama, kedua, ketiga, dan seterusnya. Di kantor baru biasanya semangat kerja juga baru. Nah, pergunakan suasana itu untuk memacu kinerja.
Kini Kenny tidak bingung lagi. Ia sudah tahu ke arah mana kakinya melangkah, agar keterampilan yang dimilikinya bisa menggiringnya ke arah yang membuatnya sejahtera lahir dan batin.

powered by performancing firefox

Thursday, February 15, 2007

Puas


apa yang membuatmu puas?
punya uang banyak?
atau punya pengalaman yang banyak?
atau apa?

ketentraman batin apakah juga membuat dirimu puas?
keadilan dalam kehidupan...?
Apa sih keadilan itu?

....
Puaskah sekarang?


powered by performancing firefox

Sunday, February 11, 2007

Mau bercerita apa...?

belum tahu mau menulis apa pengalaman tentang Mbak Nis...
biar mengendap dulu saja...

nanti aku akan mencoba bercerita
seorang rekan kerja yang punya perhatian buat teman sekitarnya...

powered by performancing firefox

Selamat jalan Mbak Nis Antari


Sabtu sore itu 10 Februari 2007
ada telepon dari Mas Gede

Mbak Nis meninggal...
Selamat jalan ya Mbak Nis....

powered by performancing firefox