Thursday, March 1, 2007

Waralaba


Maju Berwirausaha Dengan Waralaba

oleh: A. Bimo Wijoseno

Saat hampir segalanya menjadi serba mahal lantaran harga BBM yang melambung tinggi, kita mesti cermat menggunakan uang. Setelah semua pos pengeluaran diutak-atik dan dihitung-hitung, rupanya masih ada sisa uang yang jumlahnya lumayan. Apakah uang itu didiamkan saja atau diinvestasikan agar berkembang?
=====
Suatu sore, seorang teman, sebut saja Karto namanya, asyik ngobrol dengan Bejo dan Pulung, rekan sekantornya. Begitu menerima slip gaji, mereka mulai kasak-kusuk mau belanja alat elektronik (gadget) baru atau mencicipi jajanan kesukaan. Namun, keinginan itu sirna, begitu tahu kalau gaji yang mereka terima tidak bisa mengejar keinginan mereka, terbentur oleh kebutuhan sembako dan utang yang harus dicicil.
“Oh, nasib. Serba ngepas. Kalau begini, pasti tidak ada orang yang berharap apalagi bercita-cita menjadi orang miskin,” keluh Karto.
Nih, coba baca. Jadi orang miskin itu sulit meskipun jadi orang kaya juga tidak mudah,” ujar Pulung mengutip tulisan Arswendo dalam Rubrik "Terawang" di Intisari Desember 2005 yang baru dia baca.
“Ah, jelas enak jadi orang kaya, mau apa saja bisa!” ucap Bejo.
“Jadi orang kaya tapi hidupnya tidak bahagia buat apa? Selalu waswas kekayaannya diincar maling,” timpal Pulung lagi.
Untuk memilih menjadi orang kaya atau orang miskin tentu menjadi diskusi panjang yang tiada habisnya dengan banyak dalih, teori, dan alasan. Yang terpenting sekarang, bagaimana orang-orang seperti Karto, Bejo, dan Pulung bisa menambah penghasilan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari yang semakin mahal saja.

Masih terbuka lebar
Setelah merenung beberapa saat memahami tulisan-tulisan Roy Sembel dalam buku Reformasi Pembelajaran Ilmu Duit terbitan PT Grahanusa Mediatama, Jakarta, dan Extraordinary Success for Ordinary People terbitan PT Elex Media Komputindo, seperti ada pencerahan dalam diri Karto.
Menurut Sembel, pekerja kantoran tak seharusnya terlena hanya pada pendapatan yang diperolehnya setiap bulan dari kantornya. Sebab, masih ada peluang lain yang masih bisa diraih. Dengan kata lain, masih ada penghasilan lain di luar gaji. Soal gaji kita sekarang cukup atau tidak, itu urusan lain. Pokoknya, bagaimana kita bisa menambah penghasilan.
“Gross Domestic Product (GDP) Indonesia tahun 2005 mencapai Rp 2.500 triliun, sedangkan APBN kita saja hanya Rp 300 - 400 triliun. Ini potensi yang besar,” ucap Sembel. Maksudnya? Penjelasannya secara gampang, nilai belanja orang Indonesia rupanya lebih besar dari anggaran belanja negara. Akibatnya, ada peluang buat sektor swasta atau siapa saja untuk memenuhi kebutuhan belanja mereka!
Wah, meskipun peluangnya terbuka, untuk bikin usaha sekecil apa pun pasti membutuhkan modal. Lantas, dari mana modalnya? Gaji saja mepet. “Ya, kita harus menyediakan dana investasinya dulu. Jangan langsung uang untuk makan kita pakai untuk investasi. Bisa mati konyol kita,” ujar Sembel.
Untuk berinvestasi, ada langkah-langkah yang perlu dijalani. Pertama disiplin menabung. Paling tidak, 10% atau 20% gaji kita sisihkan untuk ditabung. Jika 1 - 2 tahun dana sudah terkumpul, mulailah berhitung. Sembari menabung, kita bisa menimbang-nimbang investasi apa yang bakal kita pilih.
Sembel mengingatkan untuk tidak langsung tergiur pada investasi yang sifatnya instan di depan mata. Sebab, yang instan itu biasanya fatal dan berumur pendek. Ingat kasus ADD FARM? Dalam kasus itu banyak investor tertipu. Alih-alih mendapat untung besar, mereka malah pusing tujuh keliling kehilangan uang puluhan hingga ratusan juta yang semula digunakan untuk investasi peternakan bebek.
Karena itu, perencanaan berinvestasi menjadi penting artinya. Jika sudah ada perencanaan, biasakan mencari tahu dan mencari kesempatan bisnis yang cocok buat kita. Pertimbangkan juga baik-buruknya bisnis yang kita pilih.
Ada patokan yang diberikan Sembel. Rumusnya, WISDOM. W adalah watak. Coba kenali dan kuasai potensi diri dan lingkungan saat ini. I, ingin. Tentukan tujuan atau masa depan yang kita inginkan. S, siasat. Kita perlu merancang strategi atau siasat untuk mencapai tujuan itu. D, didik, tingkatkan pengetahuan, keterampilan dan sikap. O, otak/otot. Kita melakukan strategi dengan kerja cerdas (otak) dan kerja keras (otot). Yang terakhir, M, manajemen, monitor, dan measure. Maksudnya, kita mengelola sumberdaya yang kita punyai, dan setelah berjalan bisnisnya, tetap melakukan monitor pencapaiannya.

Tak perlu modal besar
Waduh, bagaimana kalau rencana menabung tak juga terlaksana lantaran penghasilan habis untuk bayar cicilan utang juga? Tak usah putus asa. Dengan uang Rp 20.000,- saja kita masih bisa berbisnis. Bisnis apa yang bisa kita lakukan dengan dana terbatas itu?
“Dengan uang Rp 20.000,- kita bisa menjadi mitra bisnis waralaba saya,” ujar Made Ngurah Bagiana, pengusaha dan pemilik waralaba burger bermerek Edam. Burger ala Bagiana ini sudah cukup kondang. Kios-kios Edam biasa dijumpai di dekat sekolah, kampus, perkantoran, tempat hiburan, acara bazar, atau di depan supermarket atau mini market. Mungkin Anda pernah sesekali menjumpainya.
Kembali soal modal yang Rp 20.000,- tadi. Apa saja yang bisa kita dapatkan? "Anda bisa mendapatkan 10 buah roti burger, satu bungkus daging buger isi 10, satu cangkir sambal, dan satu cangkir mayoneis," kata Bagiana. Lantas diapakan? Ya, tentunya dijual!
Dengan sedikit kerja, bahan burger itu siap disulap menjadi burger siap santap. Daging burger dipanasi sebentar, ditambah sayuran selada atau timun, dan diselipkan di antara belahan roti yang sudah diberi mayoneis dan sambal, jadilah burger Edam. Harga jualnya sebuah Rp 4.000,- sepotong. Satu potong burger bisa mengahsilkan untung bersih Rp 2.000,-. Nah, kalau modal dan bentuk bisnis yang dijalankan sudah ada, tinggal kerja keras kita untuk menjajakannya.
Masih gentar untuk berbisnis burger? Wah, kalau inginnya langsung seperti Bagiana, yang sekarang ini telah memiliki 1.500 outlet dan sembilan pabrik roti yang omzetnya mencapai Rp 40 juta per hari, ya tidak mungkin. Semuanya harus diawali dengan kerja keras.
Lelaki kelahiran Bali 12 April 1956 ini dulunya juga luntang-lantung. Kuliahnya tidak tamat karena terbentur biaya. Yang ia miliki hanya ijazah STM, hobi memasak, dan kerja keras serta keinginan yang kuat. Bermacam pekerjaan seperti kernet bus, kuli bangunan, dan berjualan telur ayam pernah dilakoninya. Namun, semua pekerjaan itu tidak membuat sreg hatinya. Ia ingin bekerja untuk dirinya sendiri.
Juragan burger ini mengawali perjuangannya di tahun 1990. Bagiana sendiri ingin berjualan burger ketika ia melihat seorang pedagang burger keliling. "Asyik juga bisa menjual burger. Hasilnya, kayaknya lumayan," ucapnya. Ia pun terinspirasi untuk berjualan burger juga, kebetulan ia punya hobi memasak dan makan. Berbekal resep andalannya, modal seadanya yang ia miliki dari tabungan, kurang lebih Rp 1 jutaan ia buat gerobak lengkap dengan perlengkapan masak beserta isinya. Roti dan daging untuk isi ia cari di pasar dengan harga paling murah.
Ia berkeliling menjajakan burgernya dengan gigih di seputaran Klender, Jakarta Timur. Sampai-sampai saat orang lain istirahat berjualan, ia memilih tetap berkeliling menjajakan dagangan. Awal mencari pelanggan memang tidak mudah. Dengan utak-atik resep sana-sini, pelanggan akhirnya datang juga. Penghasilan bersihnya dalam sehari Rp 30.000,-. Waktu itu penghasilan sebesar itu sudah lumayan.
Lambat laun usaha Bagiana berkembang. Ia masih terus bekerja keras dan menabung untuk mengembangkan usahanya. Dari dua gerobak kemudian berkembang terus sampai 50 gerobak. Tentunya, ia mengajak orang lain untuk bekerja sama, cukup berlandaskan saling percaya. Saat menjelang hari raya ..., Bagiana mulai kesulitan pasokan bahan baku burgernya, terutama roti. Penjual roti langganannya kerap tidak mampu menyediakan. Jalan keluarnya, Bagiana membuat pabrik roti sendiri. Jangkauan pasarnya kemudian mulai melebar sampai wilayah Jabotabek.
Meskipun usahanya sudah mulai maju, Bagiana tak hanya ingin cari untung sebesar-besarnya. Dengan memegang prinsip saling percaya dalam mengembangkan bisnisnya, ia ingin memuaskan pelanggan. Salah satunya dengan menggunakan isi burger, yakni sosis dan daging asap yang terbaik. Bagiana pun melirik produk Kemfoods milik pengusaha Bob Sadino yang bisa diandalkan. Gayung bersambut, Bob Sadino mau menjadi mitra bisnisnya.
Jadilah burger Edam dengan isi daging buatan Kemfoods. Setiap bulannya Kemfoods menyuplai kurang lebih 11 ton daging burger ke Edam burger. Sekarang burger Edam tak hanya dijumpai di Jabotabek, bisa juga dijumpai di Bandung, Semarang, Klaten, Surabaya, Banjarmasin, Pekanbaru, dan Bali.
Misalkan sekarang kita mulai berjualan burger. Bukankah saingannya sudah banyak dengan usaha sejenis? “Kenapa mesti gentar. Selama manusia masih merasa lapar, bisnis ini memiliki peluang yang besar. Asalkan kita kreatif dan inovatif menjalankannya,” yakin Bagiana.
Atas dasar itu, belum lama ini ia mengeluarkan produk barunya, yakni pizza dan spaghetti ala Edam. Harganya juga masih seputaran Rp 4.000,-. “Saya memang ingin membuat makanan yang harganya terjangkau masyarakat. Tapi meskipun murah, kandungan gizinya tetap tinggi,” ungkap Bagiana.
Dengan bermodal rumus WISDOM-nya Roy Sembel dan contoh nyata dari Bagiana, si juragan burger, kenapa kita tidak mencoba mencari penghasilan baru?

Boks
Cukup Bermodal Rp 2,5 Juta

Jika tertarik memulai bisnis waralaba Edam, berikut skema bisnisnya:
Modal:
1. Counter lengkap (berupa alat masak, kompor gas, panci teflon, tenda, etalase, dan segala pernak perniknya) Rp 2.300.000,-.
2. Paket produk pertama (50 burger beserta isinya, 10 roti sosis dan isinya, bumbu-bumbu, sampai daftar harganya) Rp 208.750,-.
Total modal awalnya berjumlah Rp 2.508.750,-.

Pendapatan per bulan:
1. Misalkan dalam sehari bisa terjual 50 potong burger, maka pendapatan per bulan = 50 x Rp 4.000,- x 30 = Rp 6.000.000,-
2. Biaya pembelian per bulan = 50 x Rp 2.000,- x 30 = Rp 3.000.000,-
Laba per bulan: Rp 6 juta - Rp 3juta = Rp 3 juta.

Sekadar catatan, perhitungan itu belum termasuk biaya sewa tempat dan pegawai untuk menjaga counter yang perlu dipertimbangkan. Lokasi yang cocok perlu dipikirkan, karena meskipun terlihat gampang, menjalankan bisnis ini tidak berarti asal-asalan memilih lokasi.

No comments: