Wednesday, May 30, 2007

pemerkosaan...

Diperkosa!

Samuel Mulia, Penulis Mode dan Gaya Hidup
Sampai empat jam sebelum tenggat untuk tulisan ini harus dikirimkan melalui surat elektronik, saya tak tahu mau menulis apa. Saya bergumam kepada Sang Kuasa. "Tuhan aku ini mesti nulis apa ya?"
Kemudian saya duduk di sofa dengan laptop terbuka di pangkuan, kepala kosong, dan kemudian memutuskan menyalahkan pesawat televisi yang kata teman saya pantasnya dikirim ke pasar loak di Pasar Mayestik, Jakarta Selatan.
"Mbok beli teve datar gitu loh," katanya. Saya cuma menggelengkan kepala karena kantong saya sedang datar, bahkan mungkin lebih datar dari teve datar.
Kemudian saya menghubungi teman saya untuk menanyakan kabarnya dan berakhir dengan mendengar cerita "pemerkosaan" dirinya oleh kliennya. Singkat cerita ia kesal karena konsep dan ide yang dia sodorkan kepada kliennya ditolak. Penolakan itu dilakukan orang baru yang sok tahu, masih muda, baru bekerja tiga bulan, tidak pandai, dan baru menjabat posisi supertinggi.
"Belagunya ampun, Mas. Kalau enggak inget itu klien lama, sudah saya tembak," katanya kesal.
Kekesalannya timbul karena pada akhirnya perusahaan periklanannya harus mengikuti kesenangan kliennya.
"Yang menyebalkan, bos saya juga cuma manggut-manggut ngebelaiin klien," katanya lagi. "Mengapa enggak mereka ngerjain saja sendiri kalau mau ini, mau itu. Gue kan bukan tukang kebun atau pembantu. Dasar …," kata teman saya lagi. (Titik-titik itu tak perlu ditulis, bukan? Saya yakin Anda tahu kata itu, karena saya juga yakin, Anda pernah ada dalam situasi yang sama, bukan?). "Saya benar-benar seperti diperkosa," lanjutnya lagi.


"Bo"
"Diperkosa"? Yah…, sangat tidak enak, meski secara harfiah saya belum pernah diperkosa. Tetapi, pemerkosaan adalah tindakan satu arah dan tak membiarkan pihak lain dapat kesempatan.
"Namanya juga diperkosa, Mas. Sampean ini yaaa…, kok masih goblok saja. Kalau pihak lain dikasih kesempatan dan berakhir menjadi suka sama suka alias win-win situation, itu mah bukan pemerkosaan, boo. Itu namanya kenikmatan. Kalau itu yang terjadi, gue ikutan yaaa…," kata teman saya.
Saya menegur teman saya untuk tidak menggunakan kata bo lagi. Menurut Ratih Sanggarwati di majalah Tempo, bo itu berasal dari kata cabo. "Hua-ha-ha-ha. Lo tuh memang pantasnya disebut bo. Lha wong sudah jadi cabo sejak kapan?" kata teman saya masih tergelak.
Tentu saya tergelak juga mendengar komentar teman saya itu. Ternyata semuanya benar. Saya adalah cabo karena bukan cuma pernah "diperkosa", tetapi juga senang membiarkan diri "diperkosa".
Waktu masih bekerja di majalah, waduh… kegiatan pemerkosaan itu banyak kali terjadi. Semua dilakukan hanya untuk uang. Klien mau ini, saya nurut. Klien mau itu, saya manut. Terutama kalau klien dengan iklan-iklan yang disodorkan memberi gengsi kepada majalah saya, bahkan dapat menjadi pancingan buat klien lain mulai berpikir memasang iklan mereka.
Beberapa kali saya juga diminta menjadi pembicara, padahal sejujurnya saya dibayar untuk berbicara ini dan itu mengenai sebuah produk. Bahkan saya tahu produknya juga cuma biasa-biasa saja. Jadi, saya membiarkan nurani saya diperkosa karena imbalannya lumayan oke.
"Ohhh… sekarang gue ngerti kenapa lo jadi banyak duit. Ok, ok, ok. Ternyata lo gampang diperkosa ya, Jeung," kata teman wanita saya.
Ada teman pria saya yang tak suka minum dan tak pernah pergi ke kelab malam untuk melihat perempuan-perempuan yang… gitu deh, dan sangat mencintai istri dan anaknya. Pada suatu hari teman saya itu diajak salah satu kliennya untuk menemani minum-minum di salah satu bar di Jakarta Kota.
Ketika undangan itu dia tolak, ia ditegur atasannya karena klien menghubungi si bos. Teman saya menjelaskan alasannya, si bos menjelaskan alasannya juga. "Apa salahnya ke bar buat menemani, kan enggak papa. Apalagi mereka klien besar kita." Alhasil, ia menemani klien tadi malam itu meski hatinya tak bahagia.
Buta
"Gue rasanya malu dan merasa bersalah kepada istri gue," katanya lagi.
Mendengar ceritanya itu, saya mengerti perasaannya. Saat saya pertama kali membiarkan diri diperkosa, perasaan itu menghantui saya. Itu terjadi sekian hari saja. Tingkat pemerkosaan awalnya hanya ringan, artinya imbalan uang yang saya dapat masih biasa-biasa saja, tetapi dengan berjalannya waktu imbalan membesar bila saya mau makin kerap diperkosa.
Saya yang awalnya merasa bersalah, lama-lama terbiasa. Bahkan, rasa bersalah itu menjadi hal yang biasa dan menjadi tak bersalah sehingga anak buah saya sampai mau tak mau harus ikut kegiatan itu. Saya menjerat orang untuk diperkosa bersama saya.
Jadi, saya ternyata senang diperkosa, saya membiarkan diri saya dikerjai bertubi-tubi. Dan pemerkosaan itu juga terjadi dalam hidup saya pribadi. The love of money membuat saya diperkosa uang.
Saya yang awalnya tak terlalu peduli, sekarang karena merasa nikmatnya memiliki uang banyak, siap dijajah oleh uang. Saya kerja pontang-panting, mengusahakan jalan apa pun untuk memilikinya, meski itu menyakitkan banyak orang.
Saya diperkosa nafsu saya yang besar untuk bermain di ranjang orang lain, maka milik orang pun saya embat juga, tanpa rasa bersalah. Bahkan, saya bisa mengatakan, "Yang suka kan dia, yaaa… salahin dia."
Saya diperkosa dengan sifat mudah marah dan tersinggung saya, maka saya senang membuat orang berduka, baik melalui tulisan maupun perkataan saya. Mulut saya seperti pelantang suara yang tak pernah berhenti menyuarakan kejelekan orang ke mana-mana, bahkan di hadapan klien saya saat selesai presentasi. Saya sangat membiarkan pemerkosaan itu terjadi karena menjelekkan dan mencelakakan orang menjadi kesenangan.
Kesenangan saya diperkosa dan membiarkan itu terjadi sampai membuat saya tak lagi bisa membedakan yang benar dari yang tidak benar. Kemudian yang tidak benar bisa menjadi benar di mata saya melalui otak saya yang mampu merasionalisasi semuanya.
Itu juga yang menyebabkan saya menjadi kebal dan tak lagi bisa mendengar suara hati saya yang sesungguhnya. Saya buta luar dalam. "Maas… ini lho ada tawaran belajar huruf Braille, mau tak?" celetuk teman saya.


Sumber: Kompas


Powered by ScribeFire.

No comments: