Tuesday, June 17, 2008


<b>Sate Kuda</b>

Makan sate siapapun sepertinya suka. Salah satu cara paling mudah dan sederhana untuk mengolah daging menjadi santapan lezat. Saking mudahnya, yang pun disate macam-macam. Dari daging ayam, sapi, kerbau, rusa, kambing, kelinci sampai kuda. Hah, kuda? Betul, kuda enggak hanya untuk binatang pekerja, dagingnya juga layak dikonsumsi. Salah satu kedai yang menyajikan sate kuda ini berada di dekat jembatan Gondosuli, di jl Sudirman no.25, Jogjakarta.

Ketika jalan-jalan di Malioboro mata ini tertuju pada moda kendaraan tradisional yang ditarik kuda. Di Jojga sebutannya andong. Kereta kudanya beroda empat. Kalau sedang berbelok roda depannya bergerak seperti mobil. Mumpung di Jojga sesekali coba, ah. Saat sedang menikmati perjalanan dan pemandangan sekitar, kudanya agak malas. Kusirnya berteriak ,"ayo Jabrik kerja. Jangan loyo. Nanti saya sate kamu!" sambil dipecuti si Jabrik giat lagi menghela kereta. Kudanya disate? Kok tega pak kusir? "Ya tidak," ujarnya tersenyum. "Kalau mau sate kuda ya tinggal beli saja," ucapnya enteng.

Rupanya sate kuda bukan barang baru meskipun agak langka di Jogjakarta. Salah satunya ada di dekat hotel Santika, dekat jembatan Gondosuli. Terinspirasi ucapan kusir sewaktu di Malioboro tadi, jadi ingin mencoba seperti apa rasanya sate kuda. Mitos tentang khasiat sate kuda ini macam-macam, ada yang bilang bisa menambah stamina, menghilangkan pegal linu, menghilangkan asma, sampai meningkatkan keperkasaan. Maklum, kuda, kan simbol keperkasaan. Tetapi kali ini tujuannya bukan itu, hanya sekedar ingin tahu seperti apa rasanya sate kuda.

Karena baru pertama kali, pesannya hanya seporsi sate kuda yang harganya Rp.10.000 isi enam tusuk. Sate daging kuda ini pasangannya bumbu kecap. Walaupun bisa juga sate kuda disajikan dengan bumbu kacang. Tetapi menurut penjualnya ibu Parti yang sudah berjualan sate kuda selama 11 tahun di sini, sate kuda lebih terasa segar dan mantap dengan bumbu kecap. Nikmatnya menyantap sate daging kuda, bila disantap dalam keadaan masih panas, baru diangkat dari panggangan. Saat gigitan pertama rasanya seperti daging sapi atau daging kerbau. Serat dagingnya besar, tidak berbau sama sekali. Memang cocok saat dicocoli sambel kecap. Dagingnya terasa gurih. Tetapi jika menyantap sate kuda ini dalam keadaan dingin, rasanya jadi berubah. Dagingnya jadi lebih <i>a lot</i> atau keras, melelahkan rahang ketika mengunyahnya. Padahal saat panas, dagingnya empuk saja. Sate kuda memang nikmatnya disantap di tempat.

Ibu Parti berjualan sate kuda awalnya memang coba-coba. Waktu itu sekitar tahun 1997an bersama suami tercinta Eko Tamtomo, mencoba membuka warung makan untuk penghidupan. "Karena warung makan di Jogja sudah banyak. Jenis makanan yang dijual harus beda dari warung yang sudah ada. Awalnya mau berjualan <i>sengsu</i> (tongseng asu/anjing), tetapi hati saya kurang cocok. Lantas dipilih sate kuda. Alhamdulilah ternyata laku sampai sekarang,"papar Parti. Lagipula di Jogja penjual sate kuda masih sangat jarang. Peluang usaha tentunya masih terbuka lebar. Kendalanya karena belum pernah menjual sate kuda, bersama suami, Parti perlu menimba ilmu pada penjual yang ada sebelumnya. Ilmu itu dicari sampai ke Segoroyoso, Bantul. Karena sate kuda ini populer di desa Segoroyoso, lokasinya di jalan antara Jogya dan Imogiri (makam raja-raja Mataram). Di sini ada penjagalan sapi dan kuda. Untuk pasokan daging kuda memang berasal dari tempat ini.

Usaha Parti dan Eko tidak sia-sia. Kehadiran warung sate kudanya mendapat sambutan baik. Konsumen terus berdatangan. Apalagi lokasi warung ini termasuk strategis, ada di pinggir jalan besar di tengah kota Jogjakarta, plus dekat dengan hotel-hotel berbintang, Santika dan Mercure. "Pelanggan biasanya coba-coba dulu, apalagi tamu-tamu hotel yang datang dari luar kota. Setelah merasakan, mereka terus menceritakan teman-temannya lagi. Menyebar dari mulut ke mulut," ucap Parti.

Tampilan warung ini sederhana saja. Seperti warung nasi biasa saja atau warteg (warung Tegal) di Jakarta. Karena selain menjual sate kuda, warung ini juga berjualan nasi sayur dan lauk pauk. Dengan menu sederhana seperti menu rumahan, ada sayur lodeh, tempe, tahu, dan ikan goreng. Warung ini buka sejak jam 08.00 pagi sampai jam 10.00 malam. Kapasitasnya paling tidak muat untuk 10 orang, duduk di bangku kayu panjang. Setiap harinya, warung ini membutuhkan minimal 5 kg daging kuda untuk dibuat sate. Jumlah ini akan bertambah saat akhir pekan atau liburan panjang, saat banyak wisatawan yang berlibur ke Jogja.

Sebenarnya daging kuda ini tak hanya diolah untuk dijadikan sate. Parti juga melayani pesanan daging kuda untuk dibuat dendeng atau empal daging kuda. Tentunya dengan harga yang spesial.

Bagaimana, Anda mau mencobanya?



Photo:http://www.horse-directory.co.uk/horse01.jpg

2 comments:

Unknown said...

di jakarta timur juga ada penjual sate kuda, namanya pak H. Lili, alamatnya di Rawa domba Rt.09 Rw.07, Duren sawit, jakarta timur

Anonymous said...

Ralat dikit, bukan jembatan Gondosuli, tp jembatan Gondolayu :)