Wednesday, March 7, 2007

Demi mengganjal perut...


Umbi Beracun Kok Dipiara!
Oleh: A. Bimo Wijoseno



Trisno Suwito (60), lelaki yang tinggal di Plarung, Desa Sawahan, Kecamatan Ponjong, Gunung Kidul, Yogyakarta ini punya hobi unik. Ia mengoleksi umbi-umbian liar dan beracun, tanaman yang oleh banyak orang dianggap tidak bernilai ekonomis.
====
Sepintas seperti tidak tidak bernilai. Namun, umbi-umbian yang terhampar di ladang seluas seperempat hektar itu memiliki ikatan sejarah dengan keluarga Trisno yang tidak bisa dinilai dengan materi. Tanpa umbi-umbian itu, besar kemungkinan jalan hidup generasi pendahulu keluarga Trisno berakhir.
Keluarga itu tinggal di Dusun Plarung yang berlokasi di lereng gunung. Di kala kemarau, tanah di dusun ini sangat gersang. Sekitar tahun 1960-an desa tempat kelahiran Trisno dilanda musibah kelaparan. Sarana transportasi yang tidak memadai membuat angka kematian akibat kelaparan membubung tinggi. Hampir setiap hari ada saja orang yang mati karena kelaparan.
Meski risikonya tidak kalah mengerikan dengan ancaman kelaparan itu sendiri, keluarga Trisno memilih mencoba bertahan hidup dengan memakan umbi-umbian liar yang tumbuh di sekitar Perbukitan Seribu sebagai pengganjal perut. Untunglah bencana kelaparan itu segera berlalu. Noyo Semito, ayah kandung Trisno Suwito, berserta keluarganya pun selamat dari ancaman bahaya kelaparan dan umbi beracun.
Seiring dengan diluncurkannya program swasembada beras pada 1980-an, Dusun Plarung berangsur-angsur mulai menikmati beras sebagai makanan pokok. Umbi-umbian liar pun menghilang dari gersangnya tanah Gunung Kidul, kecuali di ladang Noyo Semito. “Saya sebenarnya hanya meneruskan hasil karya bapak saya,” kata Trisno tentang asal mula kegiatan unik mengoleksi umbi-umbian beracun itu.

Hilang dari pasaran
Kini koleksi tanaman umbi-umbian di ladang Trisno Suwito sudah berjumlah ratusan umbi dari sekitar 10 jenis umbi. Bagi orang kota, nama-nama umbi koleksi Trisno bisa bikin dahi berkerut. Mereka yang dulu pernah bersinggungan dengan tanaman ini pun harus merenung dulu untuk mengingat-ingat bentuk umbinya.
Simak saja nama-nama umbi koleski Trisno: uwi, ganyong, gadung, suwek, katak, dan compleng . Tahu atau ingat bentuknya bagaimana? Di ladang milik Trisno masih ada lagi umbi gembili jempina (Dioscorea sp.), gembili wulung, senggani ulo yang bentuknya mirip ular melingkar, umbi legi, uwi cicing, coklok juga katak (Dioscorea pentafolia). Wah, umbi apalagi itu?
Saat ini orang pasti akan kesulitan menemukan umbi-umbi itu di pasar tradisional sekalipun. Banyak penduduk di Gunung Kidul sekalipun yang hanya tahu ceritanya, tanpa pernah melihat wujudnya. Ambi contoh, umbi jempina. “Sulit sekali untuk memperoleh bibit umbi jempina ini. Saya sendiri mendapatkannya di antara celah batu dan kondisinya sudah hampir mati,” kata Trisno bersemangat.
Menghilangnya umbi-umbian dari pasar tradisional bukan tanpa alasan. Selain liar, umbi-umbian sebagai pemasok karbohidrat sudah diambil alih oleh beras. Seloroh "belum terasa makan kalau belum ketemu nasi" membuktikan, beras memang sumber utama karbohidrat. Soalnya, kini beras mudah didapat dan gampang dimasak. Kalaupun ada alternatif pengganti, mereka berpaling ke bahan makanan ketela, ubi, atau jagung.
Karena tumbuh liar, umbi-umbian beracun itu perlu ditangani secara khusus agar layak dikonsumsi. Kalau tidak, tentu bisa membahayakan jiwa! Gadung, misalnya, harus dicuci bersih sebelum direndam, diberi abu kemudian dijemur. Itu dilakukan berulang kali sampai racunnya benar-benar lenyap. Umbi suwek dan sente bisa bikin gatal-gatal di mulut dan kerongkongan jika tidak bersih betul mengupasnya.
Ada lagi umbi yang lebih bikin gatal, yaitu compleng, walur, dan coplok. Getahnya saja sudah bisa bikin kulit terasa gatal jika dioleskan.
"Waktu itu kadang, ya, perut terasa melilit juga setelah makan umbi-umbi itu. Namun, kami harus bagaimana, daripada mati kelaparan!” tutur Trisno terbata-bata. Menurut dia, sampai sekitar tahun 1980-an umbi-umbian yang hidup liar ini berguna sebagai cadangan makanan di kala musim paceklik melanda Dusun Plarung.
Sayangnya, ketika masa paceklik, umbi-umbi liar itu menghilang dari ingatan warga. Dengan enteng mereka melupakan jasa-jasa umbi-umbian liar ini, bahkan menjadikannnya sebagai ternak. Itu masih untung. Sedihnya, umbi-umbian liar ini juga mulai dicabuti dari ladang-ladang mereka. Karena itu, pada tahun 1990-an tananam itu sudah jarang ditemui. “Di pasar apalagi, saya sudah jarang sekali ketemu,” tandas Trisno.

Pakai ilmu warisan
Padahal umbi-umbian itu sebenarnya punya kelebihan. Saat masa paceklik akibat tanaman lain tidak bisa tumbuh, umbi-umbi itu mampu beradaptasi di tanah Pegunungan Seribu yang terkenal dengan ketandusannya. Di kala musim kering, mereka justru bisa tumbuh dengan baik. Saat musim kering pula umbi ini dipanen. Justru di musim penghujan umbinya malah tidak berkembang. Hanya daunnya saja yang muncul lebat dan merambat, umbinya justru mengecil.
Beruntung sekali nasib umbi-umbi liar yang tangguh itu masih ada yang mau memperhatikan. Noyo Semito tetap setia menjaga umbi-umbian penyelamat keluarganya. Jika dalam masa paceklik dijadikan makanan utama, pada masa normal umbi-umbian itu diperlakukan sebagai pengganjal lumbung (cadangan di kala paceklik). Begitu mendalamnya kesetiaan akan umbi liar, sebelum meninggal di tahun 2000 Noyo Semito berpesan pada Trisno agar tetap merawat umbi-umbian langka dan mengembangbiakkannya di ladang.
“Bapak saya bilang, kalau kamu tetap memelihara umbi ini, kamu tidak akan mati kelaparan. Tanaman yang ada di ladang ini jangan dirusak. Kalau bisa, malah ditambah. Siapa tahu ada yang membutuhkan,” ujar Trisno mengulang pesan bapaknya. Pelestarian umbi liar itu merupakan ungkapan rasa syukur dan terima kasih Noyo dan keluarganya karena terbebas dari kelaparan.
Trisno pun mengikuti pesan ayahnya. Ia tidak hanya memelihara koleksi yang sudah ada, tetapi terus menambah koleksi umbi-umbian liarnya. Karena tidak mudah mendapatkan bibit umbi liar, Trisno menyediakan waktu khusus untuk berburu umbi-umbi liar di sekitar kampungnya. Hampir setiap hari ia berkeliling desa untuk mencarinya.
Namun, jangan salah, Trisno tidak memiliki buku ensiklopedi tentang tanaman, apalagi tentang umbi-umbian. Baca tulis saja ia tidak lancar. Maklum SD pun ia tak lulus. Ia mencari umbi hanya berdasarkan "ilmu" yang diturunkan oleh ayahnya. Toh ia paham betul dengan hampir segala jenis umbi hanya dengan melihat bentuk daun, batang, maupun akarnya. Ia pun piawai mengolahnya menjadi santapan yang aman. Saat ini ia dibantu dan didampingi sebuah LSM di Yogyakarta yang bergerak di bidang pangan.
Bibit yang didapat Trisno kemudian ditanam di ladangnya. Jangan membayangkan ladangnya berupa tanah lapang yang luas menghampar. Layaknya ladang di Pegunungan Seribu, di sana-sini bermunculan batu kapur dalam berbagai ukuran. Lapisan permukaan tanahnya kadang hanya 10 - 20 cm, di bawahnya batu. Di antara koleksinya ia juga menanam palawija dan padi gogo untuk kebutuhan sendiri.

Coba bikin keripik
Meski dikenal sebagai tanaman tangguh, tapi bukan berarti tahan hama. Ibarat juara bertahan yang selalu dicoba dikandaskan sang penantang, begitu pula dengan umbi liar ini. Banyak hama yang mencoba menaklukkannya. Ada pula hama yang menyaru lewat pupuk kandang. Alih-alih bikin tanaman subur, pupuk kandang yang menjadi Kuda Troya hama itu malah bikin umbi tompel-tompel bentuknya. Dari pupuk kandang itu muncul ulat-ulat kecil yang menyerang dan membuat umbi berasa sepet dan pahit kalau dimakan. Alhasil, Trisno menjauhi pupuk kandang untuk mempupuk tanaman umbinya. Ia lebih suka pupuk dari dedaunan kering.
Hama lain yang menyerang koleksi Trisno berupa ulat pemakan daun. Untuk yang satu ini, Trisno pasrah. Ia tidak mengatasinya dengan pestisida, tapi, “Saya biarkan saja. Kalau ada yang mati, ya saya tanam lagi bibit baru,” begitu ujar ayah dua anak ini enteng. Daripada membeli pestisida yang mahal, mending uang itu digunakan untuk keperluan lain.
Kocek Trisno terkuras justru untuk membeli bambu sebagai rambatan umbi. Untuk sebatang bambu ia mesti mengeluarkan uang Rp 1.000,-. “Sudah ratusan batang, berarti ya ratusan ribu rupiah. Kalau dihitung-hitung, sudah bisa buat beli pesawat radio atau teve. Namun, saya hanya punya bambu,” ujarnya sambil tertawa lepas.
Tak ada guratan rasa sesal di wajah Trisno menanggapi hal itu. Tak ada kata rugi di kamusnya meski ia sudah keluar banyak uang. “Ini semua kekayaan saya dan juga semua orang. Sebab, kebun koleksi saya ini bisa dimanfaatkan oleh banyak orang,” ujar duda satu cucu ini bangga.
Trisno merasa senang karena hampir tiap bulan ada saja tamu yang ingin sekadar melihat-lihat koleksi umbinya. Biasanya, mahasiswa atau sarjana yang sedang meneliti umbi-umbian. “Saya merasa senang, karena usaha saya ini dihargai,” ujarnya berbinar. “Saya masih punya harapan, pemerintah punya perhatian, agar saya bisa ikut mengembangkan umbi ini lebih baik lagi,” ucap Trisno.
Saat ini Trisno mulai mencoba membudidayakan umbi yang dihasilkan dari tanaman koleksinya. Ia sudah mencoba membuat keripik dari uwi cicing. Meski liar, uwi ini tidak gatal dan cukup enak rasanya. Kira-kira umur delapan bulan sudah bisa dipanen dan beratnya bisa mencapai 20 kg jika sudah berumur 2 - 3 tahun. Hidupnya tidak sulit, tanpa perlu dirawat khusus.
Upaya Trisno patut didukung. Semoga anak cucu kita kelak tidak hanya mengenal beras sebagai makanan pokok. Tetapi juga umbi-umbian itu. Liar dan beracun bukan berarti harus dibuang percuma.

No comments: