Thursday, March 8, 2007

Kapal tenggelam


Luka Tampomas Derita Berkepanjangan
Oleh: A. Bimo Wijoseno




Tragedi tenggelamnya KM Tampomas II, 24 tahun silam, nyaris terlupakan oleh banyak orang. Tidak demikian dengan Irma Kaniawaty, salah satu korban akibat bobroknya sistem transportasi nasional saat itu. Kepedihannya tak pernah lekang oleh panas dan tak lapuk oleh hujan. Bagaimana ibu muda itu bertahan?
-----
Bersama suaminya, Mayor Polisi Drs. Zulkarnaen, Irma tinggal di Ujungpandang, sebelum musibah itu terjadi. Keluarga muda ini sudah menetap di ibukota provinsi Sulsel itu selama tiga tahun, sejak Zulkarnaen lulus dari Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, tahun 1978. Sebagai istri prajurit, wanita asal Sukabumi itu setia mengikuti suami yang ditugaskan di sana.
Musibah itu tentunya tidak akan menimpa mereka jika saat itu Irma dan keluarga bahagianya tidak pulang kampung ke Sukabumi untuk menghadiri pemakaman dan peringatan 40 hari meninggalnya adik bungsu Irma. Namun, yang namanya nasib baik dan buruk bukan menjadi urusan manusia.
Tak ada firasat apa pun, ketika mereka memutuskan pulang kembali ke Ujungpandang dengan naik KM Tampomas II. "Padahal kami belum pernah naik kapal laut," kenang Irma. Jadi, buat Irma dan keluarganya, perjalanan laut itu merupakan pengalaman baru. "Saya merasa, naik kapal laut cukup aman. Kecelakaan justru lebih sering terjadi di udara. Berkali-kali saya naik pesawat, sering mengalami gangguan. Kadang pesawat enggak bisa turun, atau tergelincir karena cuaca buruk," terangnya.
Dari sosoknya, mereka melihat Tampomas II masih "baru" dan tampaknya nyaman. Faktanya, mereka tidak tahu kalau Tampomas adalah kapal bekas. Aslinya dari jenis Screw Steamer 6073 buatan tahun 1956, yang dibeli dari Jepang, kemudian dimodifikasi lagi tahun 1971.
KM Tampomas II berangkat dari Jakarta, 24 Januari 1981, telat sehari dari jadwal yang ditetapkan. Konon, penundaan itu karena kapal harus mengalami sedikit perbaikan.
Mereka menumpang di kelas VIP. "Saya mulai menikmati enaknya naik kapal laut. AC-nya dingin dan suasananya tenang," kisah Irma.

Cuma kunci kamar
Sayangnya, euforia naik kapal laut itu luluh lantak, ketika esok malamnya, Irma merasakan suasana ribut luar biasa. "Saya keluar dari kabin dan bertanya-tanya, apa yang terjadi. Masih pakai daster, karena sedang menyusui Sitti Mahriza Imelda Mustika (8,5 bulan). Sedangkan suami sedang makan di kantin, bersama anaknya yang lain, Sitti Zara Yasmina Rahanun (2,5 tahun)."
Tidak lama kemudian, suami Irma datang dan bilang, "Tenang saja, cuma kebakaran kecil, kok." Hati Irma sedikit plong. Namun tak lama, karena kebakaran ternyata makin tidak terkendali. Banyak penumpang kapal mulai panik dan naik ke anjungan. Keluarga Irma ikutan naik. "Enggak usah bawa apa-apa. Bawa kunci kamar saja," saran suaminya.
Beberapa waktu kemudian, api makin membesar. Irma dan suami tidak sempat membawa pelampung, tidak juga susu untuk anaknya. Karena belum pernah naik kapal laut, ia tidak tahu di mana dan apa fungsi anak buah kapal (ABK), pelampung dan segala macam prosedur penyelamatan di laut.
Ada sekoci, tapi ketika diturunkan langsung tumpah, mungkin karena terlalu sarat penumpang. Dalam situasi khaos itu, hanya ada satu dua orang ABK yang membantu mengarahkan penumpang. Kebanyakan orang cari selamat sendiri. Di dek misalnya, terjadi rebutan pelampung. "Saya tidak ikut berebut, karena di setiap kamar sebenarnya sudah tersedia, meski saya tidak tahu letaknya."
Keesokan harinya, api sudah merambat sampai ke anjungan kapal. Pagi itu mulai kelihatan banyak korban bergelimpangan. Kondisi penumpang sangat mengenaskan. Beberapa mayat sempat terpanggang di lantai kapal, sebelum digulingkan ke laut. Untungnya, Irma berdiri di atas papan kayu, walaupun hawa panas tetap terasa.
Esok hari berikutnya, Irma dan sejumlah penumpang masih bertahan di anjungan. Saat itu, angin di sekitar Kepulauan Masalembo, Laut Jawa, bertiup sangat kencang. Sementara itu ombak bergulung-gulung menyerupai gunung berjalan. Pemandangan yang sungguh mengerikan.
"Karena sangat haus, kami terpaksa minum air laut. Satu hari penuh kami sekeluarga terjaga. Dengan mata kepala sendiri, saya juga melihat seorang ibu terpanggang api. Saya juga mulai gemetaran melihat ombak besar yang makin lama makin membuat kapal miring." Sepertinya itu pertanda bakal datangnya kejadian yang lebih buruk.

Terlalu bingung
Tanggal 27 Januari, kapal sudah nyaris karam. "Mirip kejadian di film Titanic. Bedanya, di Titanic tidak ada api," ungkap Irma. Irma dan suaminya mulai pasrah. Namun, keinginan untuk terjun ke laut masih ditimbang-timbang. Mereka lalu berpegangan saja pada pagar pinggiran kapal. Kapal penolong sempat mendekat dan melempar tali. Beberapa penumpang melompat.
"Tapi suami saya bingung, hingga tak melompat," kisah Irma. Sampai akhirnya, peluang itu terlepas. Sempat terlihat juga sebuah kapal lain, KM Sangata, berbendera Panama dan sedang membawa kayu dari Kalimantan. Kapal itu terlihat lebih berani. Muatan kayunya dibuang ke laut agar bisa mendekati Tampomas dan mengangkut orang. Namun lagi-lagi, Irma sekeluarga tetap tak tersentuh.
Sementara itu, Tampomas makin miring. Kapal-kapal penolong pun mulai mundur menjauh, menghindari pusaran arus yang bisa menyedot mereka masuk ke dalam laut. "Saat itulah kesempatan terakhir kami untuk mengambil keputusan: tetap bertahan atau melompat!"
Menjelang pukul 13.00, suami Irma mengambil keputusan melompat lebih dulu. Sambil menggendong anak perempuannya, suami Irma meloncat ke laut sembari berteriak, "Allahu Akbar!>/i>" diikuti teriakan anaknya, "Mama, Mama ...." Tak disangka, ternyata itu merupakan saat-saat terakhir Irma melihat suami dan anaknya, sebab tak lama kemudian kedua orang yang dia cintai itu lenyap ditelan ombak.
"Beberapa detik kemudian, saya menyusul terjun. Saya terus berenang sambil menggendong bayi saya, menjauhi kapal agar tak tersedot arus. Tujuh jam lamanya saya berenang, sambil terus mencari suami dan anak saya. Setiap ketemu mayat yang terapung, pasti saya balikkan. Namun, mereka tak saya temukan. Bahkan nyawa bayi yang saya gendong pun akhirnya tak tertolong. Dengan berat hati saya pun melepaskannya dari gendongan.
"Saya terus berenang, meski badan sangat lelah. Saya berusaha bertahan hidup, karena teringat pada anak laki-laki saya. Muhammad Reza Aulia Bintang Zulkarnaen waktu itu kami tinggal di rumah kakek-neneknya di Sukabumi karena sedang sakit campak."
Menjelang petang, barulah Irma mendapat pertolongan dari sebuah kapal. Sebuah tali dilemparkan kepadanya, kemudian diikatkan pada kaki dan tangan. Selanjutnya, Irma dibawa ke sebuah rumah sakit di Ujungpandang dan dirawat beberapa hari di sana. "Saat itu, mulai banyak rekan suami, kawan saya, tetangga, dan sanak saudara yang datang menjenguk ke rumah sakit."
Mengingat kondisi Irma yang masih lemah, mereka terpaksa membohongi ibu muda itu dengan mengatakan, "Suami dan anakmu selamat. Mereka dirawat di Surabaya." Irma pun percaya.

Januari tegang
Usai pengobatan, Irma pindah ke Bandung. "Empat bulan setelah musibah, saya akhirnya dikasih tahu kalau suami dan anak perempuan saya sudah meninggal. Tapi saya tidak percaya. Berminggu-minggu hingga berbulan-bulan saya terus mencari kabar tentang mereka. Tetapi hasilnya nihil. Kesedihan itu saya alami bertahun-tahun. Untungnya, keluarga memberi dukungan. Kalau tidak, ...." Irma mendesah.
Mendapat cobaan yang terasa begitu berat, Irma sempat protes keras pada Sang Maha Pencipta, sampai ia tidak mau melakukan kewajibannya sembahyang lima waktu selama sekitar empat tahun. Segenap perasaan dan unek-unek yang menyesak di dadanya ia tumpahkan saja ke dalam bentuk puisi dan tulisan.
Irma juga sempat berkonsultasi kepada psikiater. Tiga tahun lamanya ia tidak mengalami menstruasi. Menurut dokter itu, gejala itu akibat psikosomatis. Tekanan batin yang amat berat telah mengganggu kinerja hormon di tubuhnya.
Akhirnya, Irma diajak menemui Buya Hamka. Sambil berdialog, ia diajak menerima kenyataan bahwa semua yang ada di dunia ini hanyalah titipan dari Tuhan. Dari situlah perlahan-lahan pikiran Irma mulai terbuka. "Apalagi saya masih punya anak laki-laki yang masa depannya tergantung pada saya."
Kini, meski sudah bisa "melupakan" trauma masa lalu, Irma masih belum berani berenang dan melihat laut. Di depan matanya selalu saja tampak "mayat-mayat" yang terapung, kapal yang tenggelam, dan bayang-bayang peristiwa masa lalu lainnya. "Beberapa waktu lalu saya pernah mencoba bepergian menyeberangi Pelabuhan Merak. Jantung saya berdebar keras, sampai keluar keringat dingin. Rasanya, tak mau jauh-jauh dari pelampung."
Lalu, setiap menjelang tanggal 27 Januari, "Saya sering 'mendengar' suara memanggil-manggil, 'Mama ... Mama ....' Hati saya pun deg-degan. Apalagi saat sekitar jam satu siang. Saya benar-benar tidak bisa melupakan peristiwa itu. Saya sering teringat pada anak saya yang berumur 2,5 tahun waktu itu. Tapi anehnya, sampai hari ini saya tidak pernah bermimpi bertemu suami saya," akunya.
Irma adalah contoh korban malapetaka langka yang tak pernah rela terpenjara trauma. Dengan niat yang kuat, terbukti tak ada sesuatu yang mustahil untuk diraih. Anak lelakinya, Bintang, kini sudah bekerja di sebuah perusahaan di Jakarta. Cuma waktu yang akan menunjukkan, kebahagiaan apa lagi yang bakal didapat Irma, sebagai ganjaran kesabarannya mengarungi kepedihan masa silam.

Boks
Tetap Berharap Dia Kembali

Dampak paling berat dari musibah Tampomas bagi diri Irma adalah menjalani hari-hari tanpa suami. Saat berusia 26 tahun dan tinggal bersama anak lelakinya yang baru berusia empat tahun, ia harus menepis beragam gosip. “Terus terang, saya belum siap menjadi janda. Kami baru menikah lima tahun. Kandi Soeriadipraja (alm.), ayah saya, selalu menekankan agar saya tak buru-buru menikah lagi. Dalam pikiran saya selalu ditanamkan, suatu saat suami saya akan kembali."
Saat mencoba bangkit, pergaulan dan kegiatan sosial mulai dijalani Irma. Ia pun mengikuti kegiatan arisan para ibu Bhayangkari (istri polisi). Di antara mereka ada yang bersimpati pada Irma yang tengah berduka itu, tapi ada juga yang bersikap sebaliknya. "Mungkin karena status saya janda, serta banyaknya tawaran mengajak saya untuk menikah."
Bertahun-tahun Irma menjadi ibu sekaligus ayah. Bintang sering bertanya, ke manakah ayah dan adik-adiknya pergi. Semula, masih bisa dibohongi, tapi lama-kelamaan ia tahu juga. Kenyataan itu membuat Irma stres berat, sampai ia sempat digosipkan sakit gila. Apalagi ia tidak pernah keluar rumah.
"Begitu saya keluar rumah, pasti ada suara-suara miring. 'Wah, Irma mulai cengengesan, cari laki-laki.' Jalan sama adik kandung laki-laki saja disangka pacaran," katanya sambil geleng-geleng kepala.
Irma sempat bekerja di sebuah kantor pengacara di Jakarta, tetapi hanya bertahan satu tahun. Ia juga sempat kuliah di Fakultas Hukum UI, namun tidak tamat. Kemudian kuliah di Akademi Bahasa Asing. "Di kampus, tidak ada yang tahu kalau saya janda. Saya simpan rahasia itu untuk menghindari godaan."
Setelah itu, Irma "ditarik pulang" oleh orangtuanya. Mereka tak mau kehilangan anak dan cucunya lagi. "Semua kebutuhan saya ditanggung orangtua dan sanak keluarga, plus uang pensiun suami."
Di Sukabumi, hampir semua orang tahu tentang musibah yang pernah menimpa Irma dan keluarganya. "Berat sekali. Jika ingat suami, kerap saya mengeluh, kenapa kamu tinggalkan saya. Kenapa saya enggak ikut mati saja waktu itu?" kenang Irma.
Pernah ia hendak dijodohkan, tapi menolak. Sampai saat ini, Irma tetap sendiri. Di hatinya telah telanjur terpatri, kelak suaminya akan kembali. Entah kapan!


No comments: