Thursday, March 1, 2007

Formalin


Formalin Untuk Mayat Saja!


Penulis: dr. Widodo Judarwanto, Sp.A., di Jakarta & A. Bimo Wijoseno

Bukannya menakut-nakuti, tapi hal yang paling mengkhawatirkan banyak orang - menyusul kabar penggunaan formalin pada bahan makanan - fromalin memang membawa dampak buruk pada kesehatan. Mungkin banyak yang belum tahu persis, bagaimana kiprah formalin di dalam badan dan apa dampaknya buat kesehatan.
-----
Gara-gara isu pemakaian formalin sebagai pengawet makanan, Budiman (25) jadi ragu menyantap tahu goreng, penganan kesukaannya sejak anak-anak. "Saya enggak mau ambil risiko," katanya ketus.
Heboh formalin merebak sejak muncul laporan Badan Pengawasan Obat dan Makanan, 26 Desember 2005. Di situ tercantum tiga jenis makanan yang mengandung formalin, yakni ikan asin, mi basah, dan tahu. Laporan itu merupakan hasil investigasi dan pengujian laboratorium atas sampel makanan yang beredar di sejumlah pasar dan supermarket di DKI Jakarta, Banten, Bogor, dan Bekasi.
Keruan saja hal itu membuat banyak orang, termasuk Budiman, ngeri. Kalau ternyata makanan yang dikonsumsinya selama bertahun-tahun mengandung formalin, berarti tubuhnya telah teracuni senyawa itu selama bertahun-tahun pula. "Ngeri 'kan?" imbuhnya, sembari bertanya-tanya, sejauh mana daya rusak bahan pengawet buatan itu, jika dikonsumsi dalam jangka panjang.

Deteksi alamiah
Sesungguhnya, setiap hari kita menghirup formalin dari lingkungan sekitar. Dalam skala kecil, formaldehida - sebutan lain untuk formalin - secara alamiah ada di alam. Contohnya, gas penyebab bau kentut atau telur busuk. Di udara ia terbentuk dari pembakaran gas metana dan oksigen yang ada di atmosfer, dengan bantuan sinar Matahari.
Senyawa formaldehida juga muncul dari hasil sampingan pembakaran bahan organik. Misalnya, asap kebakaran hutan, asap rokok, juga asap knalpot. Dalam jumlah sedikit, formalin akan larut dalam air dan bisa terbuang bersama cairan tubuh. Oleh sebab itu, formalin sulit dideteksi di dalam darah.
Secara fisik pancaindera kita memang sulit mendeteksi makanan mana yang tercemar atau bebas formalin. Namun, secara alamiah, tubuh yang sehat bisa "mendeteksi" makanan berformalin, sekaligus melakukan cegah-tangkal. Deteksi alamiah itu bisa berlangsung secara mekanis berkat kerja mukosa (permukaan) usus dan gerakan peristaltik usus yang mampu melindungi masuknya zat asing ke dalam tubuh.
Juga secara kimiawi, asam lambung dan enzim pencernaan juga punya kemampuan untuk menetralkan zat berbahaya. Atau secara imunologi, lewat mekanisme pertahanan tubuh dalam menghadapi antigen atau benda asing yang masuk ke dalam tubuh. Salah satu dampak deteksi alamiah ini, ia akan muntah-muntah kalau tubuh kemasukan racun.
Makanya, imunitas tubuh sangat penting untuk mengurangi dampak formalin dan kawan-kawan. Jika imunitas rendah, sedikit formalin saja bisa berdampak buruk.
Ingat, itu tadi setelah makanan berformalin keburu masuk ke dalam perut. Sebelum dikonsumsi atau dibeli, makanan berformalin juga bisa dideteksi menggunakan seperangkat test kit. Di dalamnya terdapat semacam kertas lakmus (pengetes PH; tingkat asam-basa) dan cairan yang akan berubah warna jika terkena formalin. Sayangnya, alat deteksi ini masih terbatas penyebarannya dan harganya cukup mahal. Satu set test kit seharga sekitar Rp 1 juta untuk 100 kali pemakaian.

Tenggorokan bak terbakar
Formalin biasanya merasuk ke dalam tubuh melalui dua jalan, lewat mulut dan pernapasan. Bahan yang kerap dipakai untuk mengawetkan mayat ini sangat berbahaya bila sampai terhirup, mengenai kulit, atau tertelan.
Secara umum, ambang batas formalin dalam tubuh adalah 1 mg/l (darah ???). Bila melebihi ambang batas, bisa berakibat fatal pada gangguan organ dan sistem tubuh. Akibat yang ditimbulkan itu dapat terjadi dalam waktu singkat atau dalam jangka panjang.
Akibat jangka pendek terpapar formalin dalam jumlah banyak, lazimnya ditandai dengan bersin-bersin, radang tonsil, radang tenggorokan, sakit dada berlebihan, lelah, jantung berdebar, sakit kepala, mual, diare, dan muntah-muntah. Pada konsentrasi formalin yang sangat tinggi, bahkan dapat menyebabkan kematian.
Bila terhirup, zat itu dapat mengakibatkan iritasi pada hidung dan tenggorokan, gangguan pernapasan, rasa terbakar di hidung dan tenggorokan disertai batuk-batuk. Selanjutnya, bisa terjadi kerusakan jaringan pada sistem saluran pernapasan yang mengganggu paru-paru, sehingga menjadi pneumonia (radang paru-paru) atau edema (pembengkakan paru-paru).
Sedangkan bila terkena kulit, dapat menimbulkan perubahan warna, sehingga kulit memerah, mengeras, mati rasa, bahkan terbakar. Bisa juga mengakibatkan gatal-gatal, kerusakan pada jari tangan, dan radang kulit yang menimbulkan gelembung.
Jika terkena mata, dapat menimbulkan iritasi mata sehingga mata memerah, serta rasa sakit dan gatal-gatal disertai penglihatan kabur dan keluarnya air mata. Kalau konsentrasi formalinnya tinggi, korbannya bahkan dapat mengeluarkan air mata yang hebat, radang selaput mata, dan rusaknya lensa mata.
Selanjutnya, bila tertelan, mulut, tenggorokan, dan perut akan terasa terbakar, sakit sewaktu menelan, mual, muntah dan diare yang kemungkinan disertai pendarahan. Plus sakit perut yang hebat, sakit kepala, hipotensi (tekanan darah rendah), penurunan suhu badan, kejang, hingga koma. Pada saat itu bisa saja terjadi kerusakan hati, jantung, otak, limpa, pankreas, serta susunan sistem saraf pusat dan ginjal.

Awas bayi dan balita
Bukan hanya formalin dalam jumlah banyak yang bermasalah. Meski "hanya" terpapar formalin dalam jumlah kecil, tapi jika terjadi dalam jangka waktu panjang dan terus-menerus, tetap saja berpotensi mengganggu organ tubuh. Jika terhirup, misalnya, menimbulkan gangguan sakit kepala, pernapasan, batuk, radang selaput lendir hidung, mual, mengantuk, luka pada ginjal.
Otak pun terganggu, yang ujung-ujungnya mengarah pada gangguan tidur, cepat marah, sulit berkonsentrasi dan keseimbangan tubuh terganggu. Pada wanita bahkan dapat terjadi gangguan haid hingga mandul.
Yang perlu menjadi perhatian khusus, jika yang teracuni adalah balita dan bayi. Mereka rentan sekali terkena dampak formalin. Pada usia anak dan balita, ususnya masih immature (belum sempurna) dan sistem pertahanan tubuhnya masih lemah atau gagal berfungsi. Kondisi itu memudahkan masuknya bahan berbahaya ke dalam tubuh dan sulit dikeluarkan.
Dampak formalin buat bayi dan balita secara umum sama dengan orang dewasa. Cuma, karena mekanisme pertahanan tubuh balita dan bayi lebih lemah, pengaruh buruknya menjadi lebih berat dan lebih cepat.
Dampak formalin juga lebih ganas jika diterima penderita gangguan saluran cerna yang kronis, serta penderita autis dan alergi. Saluran pencernaan penderita autis atau alergi tidak sempurna atau mengalami gangguan, sehingga mekanisme pertahanan tubuh melalui saluran cerna tidak optimal.
Jika teracuni formalin, tak perlu panik. Bila bahan itu masuk karena terhirup, jauhkan korban dari tempat formalin berada. Berikan pernapasan buatan jika mengalami sesak napas berat.
Jika yang terkena kulit, segera lepaskan pakaian, perhiasan dan sepatu yang terkena formalin. Kemudian cuci sampai bersih selama 15 - 20 menit dengan sabun deterjen lunak dan air yang banyak. Pastikan tidak ada lagi formalin yang tersisa di kulit. Pada bagian yang terbakar, lindungi luka dengan pakaian kering, steril, dan longgar.
Kalau terkena mata, bilas dengan air yang cukup banyak sambil mata dikedip-kedipkan. Siram dengan larutan garam dapur 0,9%, kira-kira seujung sendok teh garam dilarutkan dalam segelas air. Jika tertelan, segera beri minum susu atau norit untuk menetralkan racun. Lalu bawa korban ke dokter atau rumah sakit terdekat.
Dengan beragam bahaya yang ditimbulkan, formalin yang punya nama lain formol, methylene aldehyde, paraforin, morbicid, oxomethane, polyoxymethylene glycols, methanal, formoform, superlsform, formic aldehyde, formalith, tetraoxymethylene, methyl oxide, karsan, trioxane, oxymethylene dan methylene glycol itu memang lebih cocok untuk mengawetkan mayat. Bukan makanan!

Boks
Pengawet dari Dapur

DR. NL. Ida Soeid, MS, pakar biokimia gizi dan makanan dari jurusan kimia FMIPA ITS Surabaya memberi solusi murah, meriah dan mudah untuk mengawetkan makanan. Bahannya dari bumbu dapur, sayuran busuk, dan bakaran jerami.
Untuk mengawetkan tahu, caranya cukup dengan menyediakan air saringan dari gerusan bawang putih yang dicampur air. Tahu yang direndam dengan cairan ini bisa bertahan selama dua hari. Selain menjadi awet, cita rasa tahu semakin sedap.
Sedangkan ikan segar bisa diawetkan dengan direndam air yang mengandung asam laktat. Bahannya bisa dibuat sendiri. Komposisinya, dalam satu wadah, masukkan 100 g kubis (kol) yang dirajang halus yang ditaburi satu sendok makan garam. Kubisnya tidak harus yang baik dan segar. Sisa kubis yang berserakan di pasar juga bisa digunakan. Diamkan selama dua hari.
Di bawah kubis yang membusuk itu akan terdapat cairan dari proses pembusukan. Itulah asam laktat. Kalau untuk mengawetkan ikan segar, campurkan cairan asam laktat ini dengan air untuk merendam ikan. Hasilnya, ikan bisa awet selama 12 jam.
Mi basah bisa diawetkan dengan air ki, yang bisa dibuat dari jerami atau batang padi kering yang dibakar hingga menjadi abu. Masukkan abu jerami dan air ke dalam satu wadah, kemudian diamkan selama satu sampai dua jam. Lantas air ini disaring sampai sisa abunya tidak tercampur lagi. Air saringan inilah yang disebut air ki, yang digunakan untuk adonan membuat mi basah. Dengan air ki, mi basah bisa bertahan selama dua hari.
(KCM/Bimo)

No comments: