Thursday, March 8, 2007

Kedele


Kedelai Raksasa Milik Pak Zum
Oleh: A. Bimo Wijoseno




Untuk menciptakan tanaman produktif para ahli tidak harus melakukan rekayasa genetika langsung pada tanaman itu. Buktinya, dengan pupuk yang diformulasikan secara khusus, tanaman kedelai bisa "dipaksa" menghasilkan kacang kedelai berlipat ganda.
====
Boleh percaya, boleh tidak. Tanaman kedelai yang biasanya memiliki tinggi tak lebih dari 70 cm, dengan jumlah polong antara 40 - 80, ternyata bisa "disulap" menjadi tanaman jangkung setinggi 4,5 m dengan jumlah polong 2.300 - 2.800 polong. Ruarrr biasa!
Namun, jangan membayangkan sosoknya menjadi besar seperti tanaman keras macam pohon nangka atau rambutan. Penampilannya masih tetap seperti dulu. "Hanya saja, batangnya sedikit lebih besar, lebih tinggi, dan berbuah lebih banyak,” ujar Ir. Ali Zum Mashar (32), pemelihara tanaman kedelai jangkung dan produktif ini.
Untuk membuat tanaman kedelai menjadi "raksasa", Ali melakukan rekayasa pada pupuknya. Tanamannya tidak diotak-atik sama sekali. Lingkungan penanamannya pun tidak diberi perlakuan khusus, meskipun sebenarnya kedelai merupakan tanaman subtropis. Yang dia sentuh cuma tanah tempat kedelai itu tumbuh dengan memberi pupuk yang diformulasikan secara spesial.
Logikanya, jika tanahnya subur, tentu akan dihasilkan tanaman yang bagus. Hanya saja, Ali tidak lantas latah menggunakan pupuk kimia yang banyak tersedia di pasaran. Ia menggunakan pupuk hayati yang ia rekayasa secara khusus.

Mikroba biangnya
“Secara alami ada 'pabrik pupuk' yang membuat subur tanaman dan tanah tempat tanaman bertumbuh. Namanya, mikroba,” ujar Zum. Jasad renik itu banyak jenisnya, di antaranya ada yang menghasilkan unsur natrium, fospat, kalium, dan zat kimia lain yang terdapat dalam pupuk kimia buatan. Mereka memproduksi zat hara dan nutrisi melalui proses bio-perforasi. Selain memberikan zat hara pada tanah, mereka juga bahu-mambahu menciptakan keseimbangan mikro-ekologi ke dalam jaringan secara cepat. Sayangnya, tak semua tanah disusupi mikroba. Di sinilah pupuk hayati bikinan Zum mengambil alih peran mikroba.
Berawal dari pemikiran itu, yakni bahwa tidak setiap tanah mengandung mikroba yang bisa menghasilkan zat hara dan nutrisi, Ali tergerak untuk meneliti dan mengumpulkan bermacam-macam mikroba penyubur tanaman dari ujung daun hingga ke dalam tanah. Selama kurang lebih 10 tahun, alumnus Universitas Jenderal Sudirman, Purwokerto, ini berkutat meneliti mikroba apa saja yang bisa menyuburkan tanaman dan ramah bagi manusia maupun lingkungan.
Dari satu dekade berburu mikroba itu, terkumpullah 18 jenis mikroba, di antaranya cyano-bacter, azospirella, dan pseudonomy bacter. Dengan formula tertentu, para jasad renik itu diadon menjadi pupuk hayati baru yang oleh Ali diberi nama Bio P2000 Z (Bio = bahan hidup, P = perforation technology, 2000 = tahun pembuatan, Z = Zum, nama tengah Ali).
Meski cuma 18 mikroba yang terkumpul, ternyata tidak mudah memadukannya. “Ada yang saling membunuh malahan. Harus by trial and error untuk membuat mereka bisa berpadu,” terang Ali. "Tidak usah takut dan khawatir. Pupuk ini aman bagi manusia dan lingkungan," yakin Ali. Secara alami mikroba ini akan berkembang terus, namun secara alami pula ia akan mati dengan sendirinya jika sudah jenuh dan tugas dan kewajibannya selesai.
Diharapkan, pupuk Bio P2000Z ini bisa menjadi alternatif, menyusul dicabutnya subsidi pupuk oleh pemerintah (Kompas, 4-1-2005). Nilai lebih pupuk hayati ini, ia mampu mengembalikan kesuburan tanah yang rusak akibat bertahun-tahun dijejali pupuk kimia buatan pabrik. Endapan pupuk di dalam tanah bisa diurai oleh mikroba dalam pupuk Bio. Petani tak perlu lagi membeli pupuk kimia.
Soal harga pun, bisa diadu. Harga seliter pupuk Bio P2000Z cuma Rp 100.000,-. Padahal, isinya setara dengan 200 kg urea (seharga Rp 200.000,-), 50 kg fosfat (Rp 90.000,-), dan setara 40 kg pupuk KCL (Rp 60.000,-). Jika merasa kemahalan, pupuk ini bisa diencerkan lagi dengan cara fermentasi selama 48 jam (dengan menambah 1 kg gula, 1 kg urea, dan 20 l air). Seliter pupuk bisa diencerkan menjadi 20 l pupuk cair. Jadi, harganya memurah menjadi sekitar Rp 5.000,- seliter.
Zum sendiri telah mengujicobakan pupuknya untuk berbagai tanaman produksi dan lahan pertanian, termasuk lahan gambut. Sebagai contoh bukti hasil pemakaian pupuk Bio P200Z, Zum menyatakan, pupuk itu mampu meningkatkan jumlah panen kedelai, yang semula 1,2 ton per ha menjadi 4,5 ton per ha dalam enam kali pemupukan dengan jeda 1 - 2 minggu.
Untuk mendapatkan kedelai tingkat raksasa seperti di awal tulisan ini, tanaman perlu dipupuk dua kali seminggu. Tiap ada tunas baru, semprotlah daun, batang, dan tanahnya dengan pupuk ini.

Didasari keprihatinan
Pupuk Bio P200Z barangkali tidak akan pernah tercipta bila Ali Zum Mashar tidak didera rasa prihatin melihat kondisi ekonomi petani sejak ia duduk di bangku kuliah. Akibat revolusi hijau, produksi pertanian digenjot menggunakan pupuk kimia. Pada awal panen hasilnya memang memuaskan, tetapi untuk selanjutnya petani malah merugi. Setiap musim tanam, petani harus punya modal untuk membeli bibit, pupuk, dan pestisida.
Ketika panen, belum tentu petani bisa langsung tersenyum bahagia meraup untung dan menutup utang modalnya. Soalnya, harga jual hasil panen masih bisa digoyang untuk menguntungkan pihak tertentu. Petani akan lebih merana lagi jika tanamannya ludes diserang hama. Kalau demikian, dengan apa lagi petani bisa membayar utangnya?
Jika kondisi seperti itu berlangsung terus-menerus, petani bisa makin jatuh melarat, begitulah Zum membatin. Kalau akhirnya petani kemudian menggantung paculnya, “Ini bahaya, negeri kita bisa rawan pangan. Meskipun bisa impor pangan, hal itu tidak bisa dilakukan terus-menerus.”
Menurut Zum, salah satu kunci penyebab kemelaratan petani yaitu karena ketergantungan petani dengan pupuk buatan. Takaran penggunaan pupuk buatan ini untuk satu satuan luas perlu terus meningkat. Dari segi biaya, ini tentu menambah ongkos produksi yang memberatkan petani.
Pemakaian urea yang berlangsung terus-menerus dan bertahun-tahun juga membuat tanah menjadi seperti plastik. Akibatnya, tanah tidak bisa bernapas dan air pun tidak bisa meresap. Ini baru akibat ulah urea. Belum akibat pupuk lain seperti TSP dan fosfat yang membuat tanah menjadi asam.
Kalau sudah begitu, akar tanaman sulit berkembang dan hidup. Padahal, dari yang dipelajari Ali, sesungguhnya tanaman bisa subur secara alami tanpa diberi pupuk kimia buatan. Maka, ia pun berupaya mati-matian untuk menciptakan formula pupuk hayati yang bisa memberi zat hara cukup bagi tanaman, tetapi tidak merusak tanah. Hasilnya, ya pupuk hayati Bio P200 Z itu.
Bravo, Pak Zum!


No comments: