Thursday, March 1, 2007

Harry Potter


Multi Tafsir Sihir Harry Potter
Oleh: A. Bimo Wijoseno


Penulis: A. Bimo Wijoseno

Adanya kekhawatiran atas pengaruh buruk unsur sihir yang dibawa Harry Potter bagi pembaca, terutama anak-anak, mengundang Hianly Muljadi, dosen Jurusan Sastra Inggris, Universitas Maranatha, Bandung, untuk mengkajinya. Salah satu hasilnya, gelar master diraihnya.
-----
Buku serial Hary Potter (HP) karya J.K. Rowling memang fenomenal. Dari sisi penjualan sejak edisi pertama hingga seri buku ke-6 sudah terjual lebih dari 300 juta kopi di seluruh dunia. Buku itu sudah diterjemahkan ke dalam 63 bahasa dan sekitar 200 negara pun terkena "sihir" si Harry Potter.
Namun, justru sihir itulah yang jadi pokok perkara. Banyak kalangan religius konservatif di beberapa negara bagian Amerika Serikat, seperti Colorado, Kansas, Nebraska, dan 17 negara bagian lainnya melayangkan protes. Buku HP dianggap mengandung ajaran sesat dan membuat orang percaya pada kekuatan setan lewat sihir. Sebagai antisipasi dan wujud protes, buku HP pun dibakar, tidak boleh dibaca anak-anak, dan juga dilarang masuk ke perpustakaan.
Namun, di Indonesia justru aman-aman saja. Tidak ada pencekalan terhadap buku Harry Potter. “Pembaca Indonesia tampaknya tidak terpengaruh sama sekali dengan isu itu, meski bukan berarti mereka tidak tahu isu itu,” terang Hianly Muljadi. Soal cekal-mencekal inilah yang menarik perhatian Hianly untuk menelitinya. Hasilnya dia jadikan tesis magisternya pada Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia.

Anak perlu bimbingan
Sebelum ngomong soal penelitiannya, Hianly bercerita bagaimana ia kesengsem pada buku-buku HP. “Saya memang suka dan mengikuti dari awal,” ucapnya antusias menjawab pertanyaan mengapa ia memilih meneliti fenomena HP. Pertama kali ia membaca novel HP berbahasa Indonesia, hadiah ulang tahun dari seorang kawan.
“Buku novel ini menyenangkan. Bercerita tentang sihir, yakni seorang anak yang bisa sihir tetapi ia sendiri tidak menyadarinya. Ketika membacanya, saya terhanyut dan bisa membayangkan dunia sihir itu sebagai pengalaman yang berbeda. J.K. Rowling pintar sekali membuat pembacanya bisa merasakan seperti yang dialami Harry Potter,” papar Hianly yang juga sudah membaca habis buku ke-6 (judul?).
Kata Hianly lagi, "Saya senang dengan tokoh Harry Potter yang bukan anak baik-baik banget. Ia seperti anak biasa, yang bisa marah atau kesal dan menjengkelkan. Bahkan, saya sempat kesal dengan Harry ketika ia begitu emosional di edisi ke-5 (judul?? - Red.). Harry bukan tokoh yang sempurna. Ia seperti anak-anak biasa dan alami."
Edisi terakhir itu pun tergolong tebal. Tidak berbeda jauh dengan edisi-edisi sebelumnya. Meski begitu, para pencinta HP, termasuk Hianly, tidak gentar membacanya. Bahkan, ada yang sampai menyediakan waktu khusus untuk melampiaskan rasa penasarannya.
“Dulu, dalam sehari saya bisa baca sampai tamat. Tapi karena sekarang ada tanggung jawab pekerjaan, buku ke-6 ini baru selesai saya baca lebih dari dua atau tiga hari,” ujar dosen yang juga ketua jurusan Fakultas Sastra Inggris, Universitas Maranatha ini.
Menurut Hianly, anak-anak di bawah umur 10 tahun tentu akan kesulitan dengan ketebalan buku HP. Namun tampaknya, meski termasuk bacaan untuk anak-anak, kebanyakan pembaca buku HP berasal dari kalangan remaja dan orang dewasa.
Bagaimana isi cerita HP ke-6? “Baca saja sendiri, ya. Nanti tidak seru lagi,” elak istri dari Wintarko Gunawan ini. Namun, secara sekilas Hianly mengungkapkan, jalan cerita edisi ke-6 mulai suram (maksudnya kurang spesifik!!! HK), sepertinya anak-anak yang belum paham perlu bimbingan. Bagi anak remaja, jalan cerita yang demikian bukan persoalan.
“Tapi di edisi ini ada yang saya tidak suka. Saya benci Prof. Snape karena dia membunuh Dumbledore, kepala sekolah sihir Hogwarts,” ucapnya kesal.

Tiga kelompok responden
Dalam penelitiannya yang bersifat kualitatif dan studi kasus ini, Hianly menjaring 22 responden yang didapat dari mailing list (milis) pasarbuku@yahoogroups.com dan diskusinovel@yahoogroups.com. Responden dipilih dari anggota kedua milis ini karena asumsi bahwa anggotanya adalah orang dewasa dan bisa menyampaikan pendapatnya secara leluasa. Walaupun buku HP ditujukan buat anak-anak, fokus penelitian ini untuk mengetahui bagaimana elemen sihir dimaknai oleh para pembaca serial HP.
Dari identifikasi dan klasifikasi respons pembaca dewasa terhadap buku HP di Indonesia, responden terbagi menjadi tiga kelompok. Pertama, kelompok pencinta HP, yakni responden yang menyukai HP, yang menganggap sihir di dalamnya tidak memiliki pengaruh buruk pada pembacanya, serta menolak pelarangan terhadap serial buku itu.
Kedua, kelompok pembenci HP, yakni responden yang tidak menyukai HP, yang menganggap sihir di dalamnya memiliki pengaruh buruk terhadap pembacanya, dan mendukung pelarangan peredarannya.
Ketiga, kelompok ambivalen, yakni responden yang menyetujui salah satu dari dua kelompok tadi, tetapi dengan beberapa pengecualian yang membuat mereka tidak termasuk dalam kelompok pencinta ataupun pembenci HP.
Kemudian Hianly menganalisis ideologi yang melatarbelakangi respons para responden. Dalam penelitiannya, ia memakai definisi ideologi yang dikemukakan oleh Jhon Storey dan Roland Barthes. Ideologi menurut Storey mengacu pada apa yang disebut “bentuk-bentuk ideologis”, yakni cara berbagai teks (bisa berupa film, lagu, karya fiksi, dan lainnya) menghadirkan suatu citra dunia tertentu. Setiap bentuk ideologi berupaya menghasilkan simpati masyarakat, sehingga “melihat” dunia seperti yang diinginkannya.
Sedangkan menurut Barthes, ideologi berada dalam tatanan konotasi. Ideologi atau mitos, menurut istilah Barthes, menjadi tempat terjadinya pergulatan hegemonik untuk membatasi konotasi, membentuk konotasi tertentu, dan menghasilkan konotasi baru.
Ringkasnya kira-kira begini. Kata Hianly, HP sebagai sebuah teks menghadirkan citra dunia tertentu (imajinasi pengarangnya) dan membuat masyarakat (pembaca) melihat dunia seperti yang dihadirkannya. Jadi, penelitian ini menganalisis bagaimana respons atau reaksi pembaca terhadap sihir dalam buku itu.

Sihir dari iblis
Respons dari kelompok pencinta HP (16 responden), sihir dalam serial HP tidak berpengaruh buruk terhadap pembacanya. Sebab, kisah HP hanyalah imajinasi si pengarang. Lagi pula masyarakat Indonesia sudah terbiasa dengan hal-hal yang berbau mistik (atau folklor). Folklor yang berupa legenda, cerita rakyat, dan juga mitos yang ada di masyarakat sebenarnya ungkapan cara berpikir masyarakat tempat folklor itu hidup.
Menurut kelompok ini, itulah yang membuat isu pencekalan serial HP di Indonesia tidak merebak (termasuk di Eropa yang kaya akan folklor). Kekhawatiran bahwa sihir HP bisa berpengaruh pada anak-anak, menurut mereka, dapat dihindari dengan peranan orangtua untuk membimbing atau menjelaskannya kepada anak-anak.
Respons kelompok pembenci HP (lima responden), dan kebetulan penganut Kristiani, seragam dan mengandung nuansa Kristiani yang kental dengan mengutip ayat-ayat Alkitab. Menurut mereka, sihir berasal dari iblis. Karena bercerita tentang sihir, maka HP tentunya berasal dari iblis, sehingga berpengaruh buruk pada pembacanya. Mereka secara tegas dan lugas menolak HP, meskipun belum pernah membaca buku itu sama sekali.
Sementara itu kelompok ambivalen (dua responden), punya pendapat lain. Mereka percaya pada pengaruh buruk sihir dalam serial HP, tetapi tetap menyukai buku ini dan membacanya. Dalam proses membaca buku serial HP, mereka merasa tidak ada pengaruh apa pun pada diri mereka.
Soal pencekalan, yang satu setuju, yang lain tidak. Yang tidak setuju HP dicekal tetap mengakui kalau HP mengandung “bahaya” jika dibaca oleh mereka yang tidak “berpengalaman”. Sebab, sihir HP dipercaya berasal dari iblis.

Tidak nyata
Selain itu Hianly juga memetakan ideologi dari sisi produsen HP yang dianalis dari preferred meaning yang ditampilkan kepada pembaca. Rowling sendiri sebagai pengarang memiliki preferred meaning yang berbeda dengan pihak penerbit buku dan produser film HP. Secara tegas Rowling menyatakan, sihir dalam HP sama sekali tidak nyata, sehingga tidak mungkin membawa pengaruh buruk pada pembaca.
Sementara itu pihak penerbit dan produser film HP tidak membantah tuduhan yang dilontarkan kaum religius. Dilihat dari bermacam bentuk promosinya, pihak penerbit sengaja menciptakan atmosfer yang memberikan gambaran bahwa dunia ini memang terbagi dalam dunia nyata dan dunia sihir.
Dalam perkembangannya, menurut Hianly, Rowling mempunyai sikap ambivalen dalam menyikapi kebijakan penerbit dan produser film HP. Partisipasi Rowling dalam kegiatan promosi yang diadakan penerbit dan produser bertentangan dengan apa yang dikatakannya mengenai sihir HP. Maklum saja, sudah tercium bau dolar alias sudah ditunggangi ideologi kapitalisme. Produser dan penerbit HP mengembangkan preferred meaning yang disesuaikan dengan kehendak para penggemar HP.
Dari hasil penelitian yang dilakukan selama enam bulan itu, Hianly menarik kesimpulan bahwa tidaklah mungkin mendapatkan tafsir tunggal terhadap sebuah teks. Seperti sama tidak mungkinnya menemukan satu ideologi yang terunggul yang bisa mengakomodasi semua tafsir yang ada dalam benak pembaca.


No comments: