Thursday, March 1, 2007

Uang apa kumbang?


Dari Kumbang Jadi Uang
Oleh: A. Bimo Wijoseno




Jangan meremehkan hal sepele. Di tangan Tri Susilo dan Andi Rafiandi kumbang yang dianggap hama bisa mendatangkan uang.
=====
Pernah mendengar ada orang bergiat di bisnis jual-beli kumbang? Tri Susilo dan Andi adalah di antaranya. Tampaknya barang sepele, tetapi ternyata bisa mendatangkan banyak uang. Jangan kaget kalau seekor kumbang bisa dihargai ratusan ribu rupiah. Bahkan ada yang mencapai puluhan juta rupiah seekornya. Tetapi semua itu tergantung keunikan kumbang. Misalnya, ukuran tubuhnya dua kali lebih besar dari kumbang sejenis yang biasa ditemui, langka, bentuk capit unik, dan warnanya khas.
Ambil contoh kumbang Chalcosoma atlas. Kumbang bercapit tiga yang dikenal sebagai hama kelapa sawit ini di situs lelang eBay dihargai AS $ 10,5 per ekor. “Untuk kumbang langka seperti Andromorf dorcus bucephalus, ini kumbang pemakan tahi gajah, harganya bisa ratusan dolar per ekor. Tetapi ini sangat jarang sekali ditemui,” ungkap Andi.
Kumbang-kumbang itu oleh pembeli dijadikan binatang peliharaan bagi kolektor. Ada juga yang dimanfaatkan sebagai bahan baku kosmetika dan obat-obatan tradisional, sebab di dalam tubuh kumbang terkandung banyak protein. Hal ini tampak jelas dari kulit keras yang melindungi tubuh kumbang.

Awalnya sambilan
Tri Susilo memulai usahanya di tahun 1992 bersama rekannya. “Saya bisnis kumbang ini berdasarkan feeling saja kok,” akunya. Usahanya itu sebenarnya memang sekadar sambilan bagi Pak Sipit - begitu Tri akrab dipanggil. Kala itu ia salah seorang pelatih silat nasional. Tim asuhannya kerap menjuarai pertandingan di tingkat nasional (Pekan Olahraga Nasional) maupun internasional, seperti SEA Games.
Di saat senggang sewaktu mendampingi tim pencak silatnya bertanding ke luar negeri, Tri berkesempatan untuk jalan-jalan melihat museum. “Saya tertarik pada koleksi serangga di sana. Lalu terlintas di pikiran saya, kumbang seperti ini banyak dijumpai di Indonesia. Kemudian muncul ide untuk mengembangkannya,” papar Pak Sipit. Apalagi di sana (?) sudah banyak perkumpulan pecinta serangga. Keping-keping pemikiran pun akhirnya mengerucut menjadi sebuah peluang. Kemudian ia mencari kenalan yang membutuhkan kumbang, seperti para peneliti dan kolektor kumbang (entomolog).
Awalnya, Sipit mengambil kumbang-kumbang dari alam di pinggir-pinggir hutan. Namun, lambat laun kumbang makin sulit didapat. “Mungkin karena hutan sekarang banyak ditebangi sehingga kumbangnya makin sedikit dan sulit didapat,” ucapnya. Kesulitan itu tidak membuat Sipit gentar. Konsumen setianya dari Jepang sampai rela menunggu. Lalu muncullah ide membudidayakan kumbang. Dengan beternak kumbang di rumah, ia tidak perlu repot lagi berburu kumbang di alam dan ada kepastian jumlah kumbang yang didapat dari hasil budidayanya. Selain itu jumlah kumbang di alam tetap ada tidak habis diekspor.
Untuk menjadi dewasa kumbang butuh waktu setahun. "Umur kumbang dewasa juga kurang lebih satu tahun (meski) tergantung jenis kumbangnya," ujar Andi Rafiandi, menantu Sipit yang kini mengelola secara penuh bisnis kumbangnya. Namun, untuk sampai ke tahap budidaya, mereka harus berburu dulu. "Ini ada triknya," Sipit buka rahasia.
Waktu yang cocok untuk berburu kumbang adalah saat Bulan sedang tidak tampak sehingga malam benar-benar gelap gulita. Jaring, lampu penerangan, sdan wadah untuk kumbang disiapkan. Jaring untuk menangkap kumbang, sedangkan lampu penerangan untuk menarik kumbang karena binatang ini suka dengan cahaya terang. “Tetapi jangan terlalu berharap banyak. Soalnya, dalam setiap perburuan tidak selalu mendapatkan kumbang yang kita cari. Pernah saya habis Rp 4 juta untuk ongkos pulang-pergi ke Sumatra tetapi kumbang yang dicari tidak kami dapat,” kata Sipit.
Agar pulang membawa hasil, Sipit pun membuka rahasia kedua. Sebagai patokan sederhana buat yang pertama kali berburu, kumbang banyak dijumpai di dataran tinggi, berhawa dingin, dan di pepohonan yang rimbun.

Serangga perusak
Bila kumbang sudah didapat, sekarang tinggal memikirkan soal budidaya. Sipit sendiri menyediakan ruangan sekitar 4 x 5 m dan ber-AC untuk “rumah” kumbangnya. Kumbang butuh AC karena di habitatnya ia suka tinggal di tempat yang bersuhu dingin dan lembab. Lampu penerangannya cukup remang-remang saja. Ada ratusan kumbang di dalam ruangan ini. Namun, kumbang-kumbang itu tidak dibiarkan lepas di ruangan, melainkan dimasukkan ke dalam toples-toples plastik yang dilubangi dinding-dindingnya dan berisi serbuk kayu. Dengan cara ini, tak perlu membuat terarium yang mahal.
Sebagai makanannya kumbang-kumbang itu cukup diberi potongan batang tebu yang dapat memberikan dua keuntungan sekaligus. Secara alamiah kumbang senang tingal di pohon yang bisa ia kerat seratnya. Nah, dengan mengerat batang tebu, gula yang jadi makanannya pun menetes. Kalau kumbang sudah kawin dan bertelur, tunggu sampai telurnya menetas dan menjadi larva.
Ada perlakuan khusus saat kumbang masih dalam bentuk larva, yakni memperhatikan pasokan makanan yang memadai, terutama berupa protein. Zat gizi ini penting untuk perkembangannya agar sempurna. “Jika kumbangnya bisa berukuran besar, (ia) akan punya nilai jual yang lebih tinggi dibandingkan dengan ukuran yang biasa,” jelas Andi.
Ketika sudah berkembang biak menjadi banyak, sekarang tinggal bagaimana menjualnya. Memasarkan hasil budidaya kumbang bukan perkara mudah. Ini bisa dimaklumi karena komunitas pecinta kumbang di Indonesia, menurut Andi, belum terbentuk. Karena itu mau tidak mau peternak kumbang harus mengekspor hasil budidayanya. Konsumen atau pasar yang terbesar selama ini adalah Jepang dan Taiwan. Di kedua negara itu komunitas pecinta kumbang sudah cukup banyak.
Kumbang bisa dijual dalam keadaan hidup atau mati. Dalam keadaan mati binatang ini bisa awet sampai puluhan - bahkan ratusan tahun - tanpa diberi formalin. Tentu saja mereka harus disimpan dalam terarium yang suhu dan kelembabannya terjaga.
Perlu diingat, binatang ini termasuk serangga perusak alias hama. Hal ini membuatnya sulit masuk ke negara lain. “Mereka ketat untuk menerima serangga. Oleh sebab itu perlu izin dari negara penerima dan dari karantina kehewanan di sini. Ini terkait dengan kelangsungan ekosistem alam di sini juga,” jelas Andi.
Di Indonesia jumlah eksportir kumbang belum banyak sehingga peluang bisnis kumbang masih terbuka lebar. Padahal kebutuhan pasar di luar negeri cukup besar. Dalam setahun Andi dan Sipit paling tidak tiga kali mengekpor ratusan kumbang.
Jika ada yang tertarik, Sipit tidak segan-segan menularkan ilmunya. Datang saja ke rumahnya di bilangan Kalimalang, Jakarta Timur. Di sana Anda akan tahu bagaimana kumbang bisa "diubah" menjadi uang.


2 comments:

Anonymous said...

Mas BImo....saya tertarik nih. Gimana cara kontak pak Sipit? Ada imel atau no teleponnya??

Trims.
Adi 0816298030
ketutadic@yahoo.com

Anonymous said...

Mas Bimo, saya jg minta email dan nomorny Pak Sipit dong. Saya butuh larva kumbang untuk penelitian nih..

Trimakasih ya Mas,
Rendy: 085691311878
rendypratamaputra@yahoo.com